Semarang — Anggapan bahwa wayang adalah seni kuno, ketinggalan zaman, dan sekadar artefak masa lalu kembali dipatahkan di Pameran “Wayang Anak Bangsa” yang digelar di Gedung Monod Diephuis, Kota Lama Semarang. Sejumlah pengunjung yang semula datang dengan rasa ingin tahu, pulang dengan pandangan berbeda: wayang ternyata masih hidup, berbicara, dan relevan dengan persoalan manusia hari ini.
Di ruang pamer itu, wayang tidak ditampilkan sebagai tontonan hiburan semata, melainkan sebagai narasi nilai dan refleksi kehidupan. Pengunjung diajak menyelami patriotisme Kumbakarna yang berhadap-hadapan dengan humanisme Wibisana, menyimak kisah Ekalaya yang mengalami perlakuan diskriminatif dari Dorna, hingga memahami prinsip kepemimpinan Hastabrata—ajaran klasik yang tetap kontekstual di tengah krisis kepemimpinan masa kini.
“Banyak yang baru menyadari bahwa wayang bukan hanya lawakan, nyanyian, dan tarian seperti yang selama ini mereka lihat,” ujar Tjahjono Raharjo, pegiat seni pedalangan sekaligus pamong di Sanggar Monod Laras. Menurutnya, kisah-kisah wayang adalah cermin persoalan sosial, etika, dan kemanusiaan yang terus berulang dari zaman ke zaman.
Kesadaran itu, kata Tjahjono, terlihat dari reaksi pengunjung. Saat berpamitan meninggalkan Gedung Monod Diephuis, tak sedikit yang mengucapkan terima kasih atas pengetahuan baru yang mereka peroleh. “Itu yang paling membesarkan hati,” ujarnya.
Tjahjono mengutip pernyataan maestro pedalangan Ki Manteb Sudarsono: “Wayang iku tontonane wong pinter.” Ungkapan itu, menurutnya, kerap disalahpahami. “Bukan berarti penonton wayang harus berpendidikan formal tinggi, tetapi harus memiliki pengetahuan tentang wayang itu sendiri,” jelasnya.
Ia mengaitkan hal tersebut dengan pepatah Jawa: “Golek banyu apikulan warih, golek geni adedamar”—mencari air harus membawa air, mencari api harus membawa pelita. Tanpa bekal pengetahuan, penonton akan sulit menangkap pesan moral dan filosofi dalam lakon yang disajikan dalang. Yang tersisa hanyalah hiburan permukaan di adegan limbukan.
Kesadaran inilah yang mendorong Sanggar Monod Laras untuk terus membekali anak-anak dan remaja dengan pemahaman tentang wayang dan nilai-nilai di dalamnya. “Harapannya, meskipun kelak mereka tidak menjadi dalang profesional, mereka tetap tumbuh sebagai pribadi yang memiliki apresiasi terhadap seni pedalangan,” kata Tjahjono.
Baginya, menjaga wayang tetap hidup bukan semata soal regenerasi dalang, tetapi juga menumbuhkan penonton yang paham dan peduli. Dalam konteks itulah, wayang bukan hanya warisan budaya, melainkan pengetahuan hidup—yang terus relevan, selama manusia masih bergulat dengan persoalan moral, kekuasaan, dan kemanusiaan. (Christian Saputro)




