Oleh Benny N.A Puspanegara
Pemerhati Kebijakan Hukum, Sosial dan Publik
Sumaterapost.co | Jakarta – Ketika Negara Dijadikan Latar Konten: Bela Negara atau Bela Pencitraan?
Polemik yang menyeret nama selebgram Ayu Aulia dan Kementerian Pertahanan sejatinya bukan sekadar soal klarifikasi administratif apakah ia tim kreatif Kemhan atau bukan. Itu terlalu remeh untuk ukuran negara. Yang lebih substansial adalah bagaimana simbol, ruang, dan wibawa negara dengan mudah tergelincir menjadi panggung pencitraan personal di era budaya viral.
Ketika sebuah acara organisasi kemasyarakatan diselenggarakan di gedung Kementerian Pertahanan, lalu dipersepsikan publik sebagai “pelantikan oleh Kemhan”, di situlah masalah bermula. Negara seketika tampak ambigu: antara institusi strategis yang berdaulat, atau sekadar background foto yang sah dipakai siapa saja asal terlihat nasionalis.
Klarifikasi Kemhan memang perlu dan patut diapresiasi. Namun, mari jujur:
Klarifikasi yang datang setelah kegaduhan adalah pemadam kebakaran, bukan sistem pencegah kebakaran.
Negara tidak boleh terus-menerus sibuk meluruskan tafsir publik akibat kelonggaran internal dalam menjaga simbol dan ruangnya sendiri.
Di titik ini, kita harus berani berkata tegas:
bela negara bukan urusan panggung, apalagi panggung media sosial.
Bela negara tidak membutuhkan aula megah, seremonial panjang, atau gelar-gelar simbolik yang mudah disalahpahami.
Bela negara justru diuji di ruang-ruang yang tidak fotogenik: di RT yang warganya bertengkar soal bantuan sosial, di kelurahan yang berkutat dengan pengangguran dan konflik sosial, di wilayah bencana yang setelah kamera dimatikan, rakyatnya masih hidup dalam ketidakpastian.
Jika para selebgram atau figur publik sungguh ingin berkontribusi, turunlah ke sana. Bukan untuk sekadar memanggul karung beras lima menit demi konten, lalu pulang dengan narasi heroik yang dibesarkan algoritma. Jangan jadikan penderitaan rakyat sebagai properti visual, dan jangan ubah nasionalisme menjadi aksesoris musiman.
Persoalan lain yang tak kalah sensitif adalah soal kepantasan simbolik. Publik tentu berhak bertanya ketika figur dengan rekam jejak kontroversial yang selama ini dikenal dari ruang sensasi tiba-tiba tampil dalam ekosistem simbol negara. Ini bukan penghakiman moral, melainkan soal kehati-hatian institusional. Negara harus cerdas memilih siapa yang didekatkan pada simbolnya, karena yang dipertaruhkan bukan reputasi personal, melainkan martabat lembaga.
Kementerian Pertahanan bukan ruang netral. Ia adalah jantung kebijakan pertahanan negara. Setiap aktivitas, setiap wajah, dan setiap narasi yang bersinggungan dengannya akan dibaca publik sebagai representasi negara. Di sinilah negara tidak boleh lengah, apalagi permisif.
Kita hidup di zaman ketika popularitas sering kali lebih keras suaranya daripada kapasitas. Namun negara tidak boleh ikut-ikutan mabuk viral. Negara harus tetap waras di tengah kegilaan atensi.
Bela negara tidak membutuhkan influencer, jika influencer itu tidak memahami substansi. Bela negara tidak memerlukan sensasi, jika sensasi justru merusak kepercayaan publik. Dan bela negara jelas bukan ajang pencucian citra, apa pun latar belakangnya.
Pada akhirnya, polemik ini harus dijadikan pelajaran penting:
bahwa nasionalisme yang sejati tidak berisik, tidak lebay, dan tidak sibuk membela diri di media sosial. Ia bekerja dalam diam, konsisten, dan hasilnya dirasakan rakyat, bukan sekadar dilihat kamera.
Jika negara terus membiarkan simbolnya ditarik ke dalam pusaran pencitraan, maka pelan-pelan yang terkikis bukan hanya wibawa kementerian, melainkan kepercayaan publik terhadap keseriusan negara itu sendiri.
Dan ketika kepercayaan itu runtuh, tidak ada konten seviral apa pun yang mampu memperbaikinya. (Ndy)




