Oleh Christian Heru Cahyo Saputro, Jurnalis penyuka musik
Di sebuah ruang yang nyaris tak pernah benar-benar sunyi, Maxi Brain Academy memilih untuk mendengarkan kehidupan—bukan sekadar dengan telinga, melainkan dengan rasa. Sepanjang tahun 2025, ruang ini berdenyut oleh rangkaian konser bertajuk Echoes of Life, sebuah perjalanan musikal yang tidak berhenti pada teknik dan repertoar, tetapi merayakan proses paling hakiki: menjadi manusia melalui bunyi.
Konser demi konser hadir layaknya bab-bab dalam sebuah novel panjang yang ditulis dengan nada. Setiap bunyi adalah kalimat, setiap jeda adalah ruang untuk merenung. Di panggung Maxi Brain Academy, musik tidak diperlakukan sebagai tujuan akhir, melainkan sebagai jalan pulang—menuju disiplin yang sabar, kejujuran emosi, dan keberanian untuk terus bertumbuh.
Di sana, anak-anak, remaja, hingga orang dewasa berdiri berdampingan. Jari-jari kecil yang masih gemetar belajar percaya diri, berbagi ruang dengan tangan-tangan yang telah lama mengenal ketekunan. Piano, biola, vokal, gitar, dan ansambel berbunyi bukan untuk saling mengalahkan, melainkan untuk saling menyapa. Setiap penampil membawa kisahnya sendiri, dan di situlah Echoes of Life menemukan makna terdalamnya: gema pengalaman, bukan semata gema suara.
Tidak ada gemerlap berlebihan. Cahaya dibiarkan sederhana, seolah sengaja memberi ruang agar nada bisa bernapas. Penonton diajak masuk ke dalam keheningan yang intim, sebelum kemudian disergap oleh dinamika—kadang lirih seperti doa, kadang menggelegar seperti keberanian. Seperti hidup itu sendiri, musik di panggung ini bergerak di antara jatuh dan bangkit, ragu dan yakin, belajar dan melampaui.
Keistimewaan Echoes of Life terletak pada keberaniannya merawat proses.
Setiap penampilan adalah hasil dari latihan panjang, kegagalan yang dipeluk tanpa malu, serta keberhasilan kecil yang dirayakan dengan syukur. Para pengajar hadir bukan sekadar sebagai guru, melainkan penuntun perjalanan. Mereka tidak mencetak murid sebagai produk jadi, tetapi menemani setiap individu menemukan versi terbaik dari dirinya.
Tahun 2025 menjadi tahun yang penuh rasa syukur bagi rangkaian Echoes of Life. Gema yang diperdengarkan tak hanya menggetarkan ruang, tetapi juga mempertemukan banyak pertemanan baru—disatukan dalam harmoni oleh musik.
Sebab sejak awal, tujuan musik di sini jelas: menyatukan, bukan memecah-belah.
Bab-bab istimewa terukir sepanjang tahun. Mulai dari keintiman musikal duo Adelaide Simbolon — Asep Hidayat di bulan April, perpaduan puitis antara musik dan tarian balet pada bulan Juni, hingga kehangatan penutup tahun bersama kelompok Laniakea. Belum lagi kejutan manis dari surprise performance OHD, yang datang seperti hadiah tak terduga, menegaskan bahwa musik selalu punya cara untuk mengejutkan sekaligus memeluk.
Rangkaian Echoes of Life tentu tidak akan pernah berdiri sendiri. Ia tumbuh berkat dorongan, kepercayaan, dan dukungan dari banyak pihak. Sebuah penghormatan khusus patut diberikan kepada Asep Hidayat, yang sejak awal membantu menyuarakan dan mendobrak keberanian untuk memulai, hingga konsisten menjaga agar gema ini tetap setia pada tujuan mulanya: menjadikan musik sebagai harmoni yang menyatukan banyak orang.
Ketika konser usai dan tepuk tangan mereda, yang tertinggal bukan sekadar kenangan pertunjukan. Ada getar halus di dada—kesadaran bahwa setiap manusia menyimpan musiknya sendiri. Maxi Brain Academy hanya menyediakan ruang, sementara Echoes of Life membantu gema itu menemukan jalannya.
Dan dengan penuh harap, semoga pada tahun 2026 mendatang, gema Echoes of Life dapat menjangkau lebih banyak hati, menghadirkan harmoni ke semakin banyak ruang, dan terus mengingatkan kita bahwa hidup—seperti musik—paling indah ketika dibagikan. (*)




