Oleh Christian Heru Cahyo Saputro
Jurnalis dan pengarsip kebudayaan kontemporer
Tahun 2025, Alliance Française Semarang tidak hadir sebagai lembaga yang sekadar menyelenggarakan acara. Ia bekerja sebagai ruang pertemuan—antara bahasa dan tubuh, antara disiplin seni, antara lokalitas kota dan wacana global. Sepanjang tahun, aku mencatatnya bukan sebagai kalender kegiatan, melainkan sebagai proses kebudayaan yang dijalani dengan kesadaran, kesinambungan, dan disiplin profesional.
Sebagai jurnalis kebudayaan, aku terbiasa membaca bagaimana sebuah ruang menentukan arah percakapan. Alliance Française Semarang bukan ruang netral. Ia sengaja dibuka sebagai medan dialog lintas bahasa, lintas seni, dan lintas bangsa. Setiap kegiatan tidak berdiri sendiri, melainkan saling menyambung, membentuk ekosistem kultural yang peka terhadap konteks Semarang sebagai kota sejarah sekaligus kota yang sedang belajar menempatkan dirinya di percakapan global.
Bahasa menjadi pintu pertama. Pengajaran dan praktik bahasa Prancis kutemui bukan sebagai latihan linguistik semata, tetapi sebagai latihan kepekaan budaya. Bahasa diperlakukan sebagai jembatan—cara memahami cara berpikir lain, memperluas imajinasi, dan membuka peluang lintas disiplin. Dalam berbagai kesempatan, Direktur Alliance Française Semarang, Dra. Kiki Martaty, menegaskan bahwa pembelajaran bahasa selalu mereka posisikan sebagai pembelajaran nilai dan konteks, bukan hafalan. Bahasa, menurutnya, adalah pintu masuk paling jujur untuk memahami kebudayaan lain tanpa kehilangan pijakan lokal.
Ruang seni kemudian mengisi tubuh bahasa itu. Pameran seni rupa, presentasi artistik, dan diskusi visual menghadirkan seni sebagai proses berbagi pengetahuan. Seniman lokal dan internasional diposisikan sejajar—saling membaca konteks, saling menafsir. Alliance Française Semarang tidak menempatkan seni sebagai etalase prestasi, melainkan sebagai ruang percakapan yang hidup. Prinsip ini secara konsisten ditegaskan Kiki Martaty sebagai bagian dari diplomasi budaya yang tidak berhenti pada simbol, tetapi bekerja dalam praktik.
Film menjadi medium penting dalam kerja lintas budaya tersebut. Pemutaran film Prancis selalu diikuti diskusi pascapemutaran—membuka ruang refleksi tentang sejarah, identitas, relasi sosial, dan kemanusiaan. Film tidak dibiarkan selesai di layar, tetapi diteruskan dalam dialog. Dalam catatanku, Alliance Française Semarang berperan sebagai fasilitator literasi visual yang sabar dan terstruktur.
Kerja sinema itu mencapai intensitasnya dalam Festival Sinema Prancis 2025 yang digelar di Semarang. Festival ini tidak sekadar memperluas akses publik terhadap film Prancis, tetapi menegaskan kesiapan Semarang menjadi kota dialog sinema internasional. Film-film yang diputar menghadirkan spektrum tema—dari sejarah hingga persoalan kontemporer—dan mendorong penonton menjadi pembaca aktif narasi, bukan konsumen pasif tontonan.
Dimensi lintas negara itu kemudian berkelindan dengan Lawang Sewu Short Film Festival (LSSFF). Kehadiran Duta Besar Prancis untuk Indonesia, Fabien Penone, menjadi penanda penting bahwa kerja kebudayaan yang dibangun secara konsisten di tingkat lokal memiliki resonansi diplomatik yang nyata. Festival film pendek tidak lagi berdiri sebagai peristiwa kreatif semata, tetapi sebagai ruang temu antarbangsa yang bertumpu pada kota dan komunitasnya.
Kehadiran Gaspard dalam rangkaian LSSFF memperkuat makna perjumpaan tersebut. Dialog antara sineas, publik, dan institusi berlangsung tanpa jarak hierarkis. Dalam catatanku, momen ini menunjukkan bagaimana Alliance Française Semarang menempatkan dirinya sebagai simpul penghubung—bukan pengendali—dalam ekosistem kebudayaan yang lebih luas.
Kerja lintas budaya ini semakin diperkaya melalui kolaborasi dengan Goethe-Institut. Dua institusi budaya Eropa bertemu dalam ruang kerja yang setara, membuka diskusi lintas perspektif dan pendekatan artistik. Kolaborasi ini tidak dibangun sebagai simbol, melainkan sebagai praktik—menghadirkan program, dialog, dan perjumpaan nyata. Sebagai pengarsip, kerja sama ini penting dicatat sebagai model diplomasi budaya yang kolaboratif dan berjangka panjang.
Dalam konteks kota, kerja Alliance Française Semarang tidak berdiri di luar kebijakan publik. Sepanjang 2025, aku mencatat adanya irisan yang semakin jelas dengan Pemerintah Kota Semarang, khususnya di bidang kebudayaan dan pendidikan. Kolaborasi ini bekerja melalui proses: penguatan literasi budaya, perluasan akses pendidikan bahasa asing, dan pembukaan ruang dialog internasional yang relevan bagi warga kota.
Alliance Française menempatkan kota bukan sebagai latar, melainkan sebagai mitra. Program-program kebudayaan dibaca sebagai bagian dari ekosistem pendidikan nonformal yang memperkaya sekolah, komunitas, dan ruang publik. Di titik ini, kebudayaan tidak diposisikan sebagai pelengkap, melainkan sebagai infrastruktur lunak—yang membentuk cara berpikir, bersikap, dan berinteraksi warga.
Ke depan, kerja sama ini menyimpan potensi yang lebih luas. Pendidikan bahasa asing dapat menjadi jembatan mobilitas generasi muda Semarang ke jejaring global tanpa tercerabut dari akar lokal. Program seni, film, dan diskusi lintas budaya dapat menjadi bagian dari strategi kota untuk membentuk warganya sebagai subjek kebudayaan, bukan sekadar penonton acara. Dengan jejaring internasional dan pengalaman diplomasi budaya, Alliance Française Semarang berada pada posisi strategis untuk mendampingi arah tersebut.
Musik dan pertunjukan turut mengisi denyut kegiatan sepanjang tahun. Konser dan pertunjukan lintas genre menghadirkan kolaborasi yang dibangun dengan kesadaran artistik dan profesionalisme. Musik bekerja sebagai bahasa universal—menghubungkan publik tanpa perlu terjemahan. Dalam berbagai kesempatan, Kiki Martaty menegaskan bahwa ruang seni harus tetap menjadi ruang aman bagi eksperimen dan dialog, bukan sekadar ruang tampil.
Diskusi dan forum intelektual menjadi tulang punggung seluruh rangkaian kegiatan. Pendidikan, seni, dan isu kebudayaan kontemporer dibahas tanpa simplifikasi. Alliance Française Semarang memilih menjadi ruang berpikir—tempat pertanyaan lebih dihargai daripada jawaban instan.
Yang paling konsisten kutemukan sepanjang 2025 adalah sikap kelembagaan yang tidak tergoda keramaian sesaat. Proses lebih diutamakan daripada sensasi. Keberlanjutan lebih penting daripada viralitas. Dalam lanskap kebudayaan yang sering bergerak cepat dan dangkal, sikap ini menjadi penanda profesionalisme yang jarang tetapi penting.
Sebagai pengarsip kebudayaan kontemporer, tugasku bukan menghimpun daftar acara, melainkan membaca arah dan dampaknya. Alliance Française Semarang sepanjang 2025 menunjukkan bahwa diplomasi budaya bekerja paling efektif ketika ia hadir dalam keseharian: kelas bahasa, diskusi film, pameran seni, konser, festival sinema, dan percakapan lintas bangsa yang dirawat dengan sabar.
Jika kelak catatan ini dibuka kembali, biarlah ia dibaca sebagai arsip proses. Bahwa pada satu tahun bernama 2025, Alliance Française Semarang tidak hanya menyelenggarakan kegiatan, tetapi merawat ruang dialog kebudayaan—dengan kesadaran sejarah, kerja profesional, dan visi jangka panjang.
Dan tugasku adalah memastikan
bahwa ruang itu tercatat, bahwa suara-suara yang bertemu di dalamnya
tidak hilang dari ingatan, agar kebudayaan yang hidup hari ini
tetap memiliki jejak esok hari.
(*)




