Oleh Christian Heru Cahyo Saputro,
Jurnalis, penulis, dan pengarsip kebudayaan kontemporer
Aku menulis tahun 2025 bukan sebagai deret peristiwa yang berlalu cepat, melainkan sebagai lapisan waktu yang perlu disimpan. Tahun ini datang kepadaku sebagai himpunan jejak: langkah kaki di pasar tradisional, bunyi gamelan di simpang jalan, cahaya panggung yang temaram, arak-arakan ritual yang melintasi kota, hingga halaman-halaman buku yang diluncurkan sebagai penanda ingatan bersama.
Sebagai peliput kebudayaan, tugasku bukan hanya menyampaikan apa yang terjadi, tetapi menempatkannya di dalam konteks sejarah hari ini. Aku menulis bukan demi kecepatan, melainkan ketahanan—agar peristiwa tidak selesai pada hari ia berlangsung, agar yang hidup tidak segera menjadi lupa.
Sepanjang tahun, kebudayaan kutemui bergerak di ruang-ruang yang beragam, sering kali di pinggir sorotan. Wayang, misalnya, hadir kepadaku bukan sebagai peninggalan yang diam, melainkan sebagai praktik hidup yang berjalan pelan dari satu generasi ke generasi berikutnya.
Perjalanan itu bermula dari ruang paling awal: anak-anak. Dalam Festival Dalang Anak, aku menyaksikan bagaimana tradisi diwariskan bukan lewat ceramah, melainkan melalui pengalaman langsung. Tangan-tangan kecil belajar mantap di balik kelir, suara-suara muda mulai berani bercerita. Di titik ini, wayang bekerja sebagai pendidikan kebudayaan paling dasar—sunyi, namun menentukan.
Proses pewarisan itu kemudian menemukan ruang belajar yang lebih luas dalam Pameran dan Pentas Wayang Anak Bangsa di Monod Huis. Wayang tidak dipajang sebagai artefak mati, melainkan diperlakukan sebagai medium yang hidup.
Anak-anak, karya, dan publik berhadapan tanpa jarak. Aku mencatat ruang ini sebagai simpul arsip: tempat proses kreatif anak-anak disimpan sebagai bagian sah dari sejarah kebudayaan hari ini.
Seiring waktu berjalan, wayang kembali pada ritme batinnya. Pentas Wayang Malam Jumat Kliwon menghadirkan suasana yang berbeda. Waktu terasa melambat, cerita dibiarkan mengendap, dan penonton hadir dengan sikap menyimak. Wayang di malam itu tidak sekadar ditonton, melainkan dijalani—sebagai laku refleksi kolektif yang menghubungkan cerita, nilai, dan kesadaran spiritual masyarakat.
Dari ruang ritual, wayang kemudian turun ke ruang sosial yang lebih terbuka. Pentas Wayang Dari Kita untuk Kita di Sobokartti menegaskan bahwa wayang adalah milik bersama. Gedung bersejarah itu kembali menjadi rumah pertemuan antara dalang dan penonton, antara cerita dan kehidupan sehari-hari. Wayang hidup karena dirawat bersama.
Kesadaran akan ruang publik mencapai bentuk yang lebih luas ketika wayang benar-benar keluar ke jalan. Wayang on the Street mempertemukan Mahabharata dengan aspal, klakson, dan langkah tergesa manusia kota. Wayang tidak menunggu panggung resmi, tidak menuntut keheningan. Ia bernegosiasi langsung dengan kehidupan sehari-hari. Di sana aku menyadari bahwa tradisi tidak runtuh ketika ia turun ke jalan—justru di situlah ia diuji dan diperbarui.
Puncak perjalanan ini terasa ketika kota merayakan dirinya sendiri. Festival Wayang Semesta di Simpang Lima menjadikan ruang publik paling ramai sebagai arena lakon bersama. Ketika wali kota ikut berlakon, wayang tidak lagi berdiri sebagai tontonan simbolik, melainkan sebagai bahasa kolektif. Kekuasaan dan warga bertemu dalam satu cerita. Kebudayaan bekerja sebagai dialog, bukan dekorasi.
Kesadaran kolektif itu menguat ketika Kota Semarang merayakan Warisan Budaya Takbenda yang resmi masuk dalam daftar WBTb Indonesia. Perayaan ini bukan sekadar seremoni administratif, melainkan pengakuan negara atas praktik hidup yang telah lama dijalani warga.
Tradisi, seni pertunjukan, ritus, dan ekspresi keseharian berpindah dari ingatan lisan menuju arsip negara. Tugasku di momen ini bukan sekadar melaporkan, tetapi memastikan makna dan prosesnya tercatat tanpa tereduksi menjadi angka dan daftar.
Di ruang ritual lain, kota berbicara dengan bahasa yang lebih tua. Arak-arakan Sam Poo Kong melintasi jalan-jalan membawa warna, doa, dan sejarah lintas budaya. Iring-iringan itu adalah arsip berjalan—menyimpan memori migrasi, toleransi, dan keberagaman yang membentuk Semarang. Hal serupa kutemukan dalam arak-arakan Dewa Obat: ritual penyembuhan kolektif yang menegaskan kebudayaan sebagai sistem perawatan sosial.
Di panggung seni pertunjukan, Ngesti Pandowo terus menjaga kesinambungan teater tradisi. Lakon-lakon dimainkan bukan sebagai nostalgia, melainkan sebagai praktik ingatan. Tubuh para aktor adalah arsip yang bergerak. Nada kota kemudian berbicara lewat pentas Gambang Semarang—musik yang menjadi bukti pertemuan lintas budaya, sejarah yang terdengar dan tak tergantikan oleh teks.
Kerja pengarsipan juga menemukan bentuknya dalam buku. Peluncuran Smarangh, yang dihadiri Menteri Kebudayaan Fadli Zon, menandai bahwa sejarah lokal ditempatkan setara dalam percakapan nasional. Buku menjadi jembatan antara riset, kebijakan, dan publik—antara yang dicatat dan yang dijalani.
Musik mengisi ruang batin melalui rangkaian konser Echoes of Life di Maxi Brain Academy. Sepanjang tahun, konser-konser ini hadir sebagai proses, bukan sekadar pertunjukan. Setiap nada lahir dari latihan panjang dan keberanian untuk bertumbuh. Musik menjadi pendidikan rasa, dan aku mencatatnya sebagai bagian dari ekosistem kebudayaan kontemporer.
Ruang kota kembali hidup dalam Festival Kota Lama. Bangunan-bangunan tua tidak dibekukan sebagai monumen, melainkan dihidupkan melalui seni, musik, dan perjumpaan. Di jalanan, Sketchwalk di Depok, Thamrin, dan Pemuda mengarsipkan kota melalui garis tangan—cepat, jujur, dan personal. Pameran lukisan, ruang inklusi Sahabat Difabel Dolan dan Barenga, perayaan Natal di Roemah Difabel, pasar tradisional dengan pecel Prembaen dan gulai Taboh, festival film pendek, hingga kolaborasi kampus dan UMK, semuanya membentuk mosaik kebudayaan yang tidak selalu besar, tetapi signifikan.
Sebagai penulis, aku berdiri di antara jarak profesional dan keterlibatan etis. Aku mencatat dengan verifikasi, konteks, dan kesadaran arsip. Tidak semua yang penting akan viral, dan tidak semua yang sunyi boleh diabaikan.
Tahun 2025 mengajarkanku bahwa jurnalistik kebudayaan adalah kerja jangka panjang. Ia menuntut kehadiran, ketekunan, dan kesetiaan pada detail. Sejarah sering lahir dari peristiwa kecil yang dicatat dengan serius.
Jika kelak catatan ini dibuka kembali, biarlah ia dibaca sebagai dokumen zaman: bahwa pada satu tahun bernama 2025, kebudayaan Semarang—termasuk warisan takbendanya—tidak hanya dirayakan, tetapi diarsipkan dengan kesadaran sejarah.
Dan aku menuliskannya bukan sekadar sebagai peliput, melainkan sebagai pengarsip kebudayaan kontemporer, agar yang hidup hari ini tidak hilang esok hari. (*)




