Dr. Hasbullah, M.Pd.I
Dosen Universistas Muhammadiyah Pringsewu
Wakil Ketua Majelis Dikdasmen PNF PWM Lampung
Sumaterapost.co.Pringsewu.Desember selalu memiliki cara unik untuk memaksa kita melambat. Di tengah riuh rendah kembang api dan rencana liburan, akhir tahun 2025 ini membawa atmosfer yang sedikit berbeda. Sebagai seorang pendidik yang hari harinya dihabiskan di antara deretan bangku kelas dan tumpukan ide, saya merasakan ada semacam keheningan yang menuntut jawaban. Kita tidak hanya sedang menutup kalender, kita sedang menutup sebuah babak transisi besar dalam sejarah pendidikan Indonesia.
Setahun terakhir, kita menyaksikan dua narasi besar bersemi di tanah air. Di satu sisi, Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah (Kemendikdasmen) gencar menyuarakan Deep Learning sebagai upaya memutus rantai hafalan dangkal. Di sisi lain, Kementerian Agama (Kemenag) konsisten memperkuat fondasi Pendidikan Berbasis Cinta sebagai oase bagi keringnya spiritualitas di ruang kelas. Pertanyaannya, di mana kedua arus ini bertemu dalam diri anak didik kita?
Menatap Spion; Residu Pendidikan 2025
Jika kita menengok ke belakang melalui kaca spion waktu, tahun 2025 adalah tahun di mana teknologi kecerdasan buatan (AI) bukan lagi sekadar tamu, melainkan penghuni tetap di tas sekolah siswa. Informasi tersedia dalam hitungan detik, namun pengetahuan seringkali hanya mampir di permukaan. Kita melihat fenomena “generasi instan” yang mampu menjawab segala hal, namun gagap saat ditanya “mengapa” dan “untuk apa”.
Sebagai pendidik, saya sering merenung: apakah kita telah terjebak dalam perlombaan menyelesaikan kurikulum, namun abai dalam menyentuh nurani? Evaluasi akhir tahun ini menunjukkan bahwa tantangan terbesar kita bukan lagi kekurangan data, melainkan krisis kedalaman dan hilangnya makna. Di sinilah, dua gagasan besar Deep Learning dan Pendidikan Berbasis Cinta muncul bukan sebagai pilihan, melainkan sebagai pasangan jiwa yang saling melengkapi.
Deep Learning; Menggali Akar hingga ke Dasar
Konsep Deep Learning yang diusung Kemendikdasmen bukan sekadar jargon teknis. Ia adalah antitesis dari surface learning yang selama puluhan tahun menyiksa anak anak kita dengan beban hafalan. Deep Learning mengajak siswa untuk menyelam.
Dalam praktik di kelas, kedalaman ini mewujud dalam tiga pilar; Mindful, Meaningful, dan Joyful. Belajar secara mindful (sadar penuh) berarti melatih siswa untuk hadir utuh di kelas, tidak terdistraksi oleh notifikasi gawai. Belajar secara meaningful (bermakna) berarti setiap rumus fisika atau bait puisi yang dipelajari harus memiliki cantolan dengan realitas hidup mereka. Dan joyful (menyenangkan) adalah bumbunya; karena otak manusia tidak akan pernah bisa menyerap kedalaman jika berada dalam kondisi tertekan.
Namun, kedalaman intelektual tanpa jangkar moral adalah hal yang berbahaya. Kita bisa mencetak ilmuwan jenius yang mampu membelah atom, namun tanpa kompas etika, kecerdasan itu bisa menghancurkan kemanusiaan. Di sinilah narasi dari Kemenag menjadi sangat krusial.
Pendidikan Berbasis Cinta; Cahaya di Balik Nalar
Kemenag melalui Pendidikan Berbasis Cinta mengingatkan kita bahwa madrasah dan sekolah bukan sekadar pabrik tenaga kerja. Pendidikan adalah proses tazkiyatun nafs (penyucian jiwa). Cinta dalam konteks ini bukanlah perasaan sentimentil yang memanjakan, melainkan prinsip Rahmah kasih sayang yang transformatif.
Cinta seorang pendidik berarti melihat setiap siswa sebagai entitas yang suci dan memiliki potensi langit. Ketika seorang guru mencintai muridnya, ia tidak akan menghakimi kegagalan, melainkan merangkul prosesnya. Pendidikan berbasis cinta mengedepankan dialog ketimbang instruksi, empati ketimbang sanksi, dan keteladanan ketimbang retorika.
Di tahun 2025 ini, kita menyadari bahwa kesehatan mental siswa menjadi isu yang sangat mendesak. Tingkat kecemasan remaja meningkat. Di sinilah pendidikan berbasis cinta berperan sebagai pelindung. Siswa yang merasa dicintai oleh gurunya akan memiliki “keamanan psikologis” untuk berani melakukan kesalahan dalam belajar. Tanpa cinta, ruang kelas hanyalah ruangan dingin berisi transmisi data kering.
Sintesis Otak dan Hati; Jembatan Menuju 2026
Merenungi masa lalu dan merancang masa depan berarti keberanian untuk menjahit kedua konsep ini. Saya membayangkan ruang kelas di tahun 2026 adalah tempat di mana Deep Learning menjadi metodenya, dan Pendidikan Berbasis Cinta menjadi napasnya.
Bagaimana bentuknya? Bayangkan sebuah pelajaran biologi tentang ekosistem. Secara Deep Learning, siswa tidak hanya menghafal rantai makanan. Mereka melakukan riset mendalam tentang bagaimana rusaknya satu mata rantai akan menghancurkan seluruh sistem (Kedalaman Nalar). Namun, proses itu dibungkus dengan kesadaran bahwa menjaga alam adalah bentuk syukur kepada Sang Pencipta dan wujud cinta kepada sesama makhluk (Pendidikan Cinta).
Ketika otak (kognisi) dan hati (afeksi) bertemu, lahirlah apa yang disebut sebagai kebijaksanaan (wisdom). Inilah yang selama ini hilang dari sistem pendidikan kita yang terlalu mekanistik. Kita terlalu sibuk dengan statistik kelulusan, namun lupa apakah lulusan kita memiliki empati untuk menolong tetangga yang kesusahan.
Tantangan Guru sebagai Murabbi Modern
Tentu saja, rancangan masa depan ini menuntut syarat berat: transformasi guru. Guru di masa depan tidak bisa lagi sekadar menjadi “tukang ajar”. Ia harus naik kelas menjadi seorang Murabbi pengasuh jiwa sekaligus fasilitator intelektual.
Pendidik harus lebih dulu mempraktikkan Deep Learning pada dirinya sendiri. Apakah kita masih terus belajar? Ataukah kita berhenti membaca buku sejak mendapatkan sertifikasi? Begitu juga dengan cinta. Seorang guru tidak bisa memberikan cinta jika jiwanya kering. Kesejahteraan lahir dan batin guru harus menjadi prioritas pemerintah di tahun tahun mendatang agar “energi cinta” ini tetap menyala di ruang kelas.
Negara harus hadir untuk memastikan bahwa sinkronisasi antara Kemendikdasmen dan Kemenag bukan sekadar kerja sama di atas kertas, tapi harmoni di tingkat akar rumput. Jangan ada lagi dikotomi antara “sekolah umum” yang mengejar sains dan “madrasah” yang mengejar agama. Keduanya harus menyatu: sains yang berketuhanan, dan agama yang memajukan peradaban.
Merancang Masa Depan; Sebuah Manifesto 2026
Memasuki tahun 2026, kita harus membawa resolusi kolektif. Pendidikan tidak boleh lagi menjadi beban bagi anak anak kita. Kita ingin mereka berangkat ke sekolah dengan mata yang berbinar karena rasa ingin tahu (kedalaman), dan pulang ke rumah dengan hati yang tenang karena merasa berharga (cinta).
Masa depan Indonesia Emas 2045 tidak akan tercapai hanya dengan membangun infrastruktur megah atau digitalisasi massal. Fondasi utamanya tetaplah manusia. Manusia yang mampu berpikir kritis, menganalisis secara mendalam, namun tetap memiliki kelembutan hati untuk merawat kebhinekaan dan kemanusiaan.
Sebagai penutup perenungan di pengujung 2025 ini, mari kita sepakati satu hal: tugas kita bukan menyiapkan anak anak untuk masa depan yang kita bayangkan, tapi membekali mereka dengan “kedalaman nalar” dan “kekuatan cinta” agar mereka mampu menciptakan masa depan mereka sendiri.
Selamat tinggal 2025, tahun yang penuh pelajaran. Selamat datang 2026, tahun di mana kita menanam lebih dalam dan mencintai lebih tulus di setiap ruang kelas di seluruh pelosok negeri. Karena pada akhirnya, pendidikan yang sejati adalah pendidikan yang mampu memanusiakan manusia. (Ndy)




