Oleh : Christian Heru Cahyo Saputro, jurnalis, pemerhati seni tradisi tinggal di Semarang.
Pada suatu malam yang hangat di Kota Lama, ketika lampu-lampu tua menyala bagai kunang-kunang yang enggan pergi, Oudetrap Open Theatre berubah menjadi ruang di mana legenda turun ke bumi. Jalan batu yang biasanya hanya dilalui wisatawan kini bernafas lain—lebih dalam, lebih tua, lebih sarat cerita.
Malam itu, 5 Desember 2025, Semarang menyaksikan satu kisah lama menjadi baru kembali dalam lakon “Antareja Takon Bapa”, persembahan Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Semarang bersama Wayang Orang Ngesti Pandowo.
Sejak ambang senja, trap bangku-bangku di tribun Oudetrap perlahan terisi. Anak muda duduk bersebelahan dengan para sesepuh, turis memegang kamera, sementara warga Kota Lama berdiri di tepian, menunggu pertunjukan yang telah lama menjelma tradisi baru: Wayang Orang On The Street (WOTS), ruang tempat seni tradisi bertemu denyut urban yang modern. Ratusan orang datang tanpa undangan resmi; yang memanggil mereka hanyalah kabar dari mulut ke mulut dan kerinduan pada seni yang selamanya menjadi milik bersama.
Seni Tradisi yang Hidup Kembali di Ruang Publik
Dalam sambutan pembukaannya, Saroso, S.Sn, Kabid Kebudayaan Disbudpar Kota Semarang, berbicara dengan nada yang pelan namun bersungguh-sungguh. Ia menyebut WOTS sebagai ikon budaya kota—sebuah titik temu di mana masyarakat tak hanya menonton, tetapi ikut merayakan identitasnya.
“Kegiatan ini telah tumbuh menjadi ruang kreatif kota. Ia mempertemukan seniman, warga, dan wisatawan dalam suasana hangat penuh cerita,” ujarnya.
Ucapan itu terbukti malam itu: Semarang bukan sekadar latar, tetapi menjadi rumah yang memeluk setiap orang yang hadir.
Saroso juga menyampaikan penghargaan kepada dua inisiator WOTS yang datang jauh-jauh dari Belanda, drg. Grace Widjaya Susanto dan Johni Rahaket. Mereka bukan hanya membawa semangat diaspora, tetapi juga keyakinan bahwa warisan budaya tak boleh berhenti di panggung tertutup; ia harus turun ke jalan, menyapa siapa pun yang mau singgah.
Antareja: Anak Dua Dunia yang Datang dengan Pertanyaan
Ketika panggung mulai disejukkan cahaya temaram, muncul sosok itu—Antareja. Anak dari darah Werkudara dan rahim gaib Dewi Nagagini. Lahir antara tanah dan langit, antara manusia dan dunia naga. Ia berjalan pelan, seolah membawa beban yang tak terlihat: pertanyaan tentang siapa dirinya.
Sutradara Bude Lee, bersama koreografer Paminto Krisna dan penata musik Githung Swara, merajut lakon ini bukan hanya sebagai cerita epik, melainkan sebagai perjalanan batin yang intim. Musik menggema pelan, serupa bisikan tanah yang selalu memanggil Antareja pulang. Gerak para penari mengalir seperti air, namun menyimpan ketegangan di setiap hantaran tangan.
Ketika akhirnya Antareja bertemu Bima—ayah yang tegas bagai gunung—panggung mendadak terasa sempit oleh energi dua jiwa yang saling mencari. Bima berdiri kokoh, suara beratnya menggetarkan udara. Antareja, sebaliknya, bertanya dengan hati yang telanjang: “Bapa… siapakah aku bagimu?”
Pertanyaan sederhana yang tajam seperti senjata. Dalam dunia pewayangan yang dipenuhi perang dan takdir dewa, sesederhana itu justru yang paling manusiawi.
Dua Takdir yang Beradu, Dua Hati yang Bertemu
Pertemuan itu bukan sekadar dialog antara ayah dan anak. Di balik kostum megah dan rias panggung, ada getar universal: pencarian identitas. Antareja yang sering disembunyikan bertahun-tahun menanggung sepi; Bima, ksatria perkasa yang tak pandai menunjukkan cinta, menanggung beban takdirnya sendiri.
Di ruang terbuka Oudetrap, dialog keduanya melayang seperti doa yang terlambat diucapkan. Penonton diam, beberapa mencondongkan tubuh, seolah ingin ikut menafsirkan jeda di antara kalimat.
Dari pertemuan itu, Antareja memahami bahwa menjadi ksatria bukan soal otot, bukan soal perang. Ini soal keberanian menjaga kebenaran—meski harus mengorbankan diri. Malam yang sederhana berubah menjadi ritual kecil tentang kemanusiaan.
Kota Lama yang Bertumbuh Bersama Budayanya
WOTS bukan hanya panggung. Ia adalah jantung kota yang berdetak kembali. Setiap kali lakon dipentaskan, Kota Lama tidak hanya menjadi kawasan wisata; ia berubah menjadi ruang belajar, ruang pertemuan, ruang penghubung masa lalu dan masa kini.
Lampu-lampu tua di Oudetrap bersinar seperti mata para leluhur. Dan di antara riuh tepuk tangan malam itu, dapat dirasakan sesuatu yang tumbuh—perlahan tapi pasti—di hati warga dan pengunjung: keyakinan bahwa seni tradisi bukan nostalgia, melainkan masa depan.
Pagelaran ditutup dengan tepuk tangan panjang. Penonton tidak langsung beranjak. Mereka masih ingin menyimpan sedikit sisa kehangatan, seolah tidak ingin kisah antara Antareja dan Bima benar-benar selesai.
Semarang, Kota yang Inklusif untuk Cerita-Cerita Luhur
Dengan WOTS, Semarang sedang membangun wajah baru: kota wisata budaya yang inklusif, ramah, dan hidup di setiap sudutnya. Kota yang memberi panggung pada legenda, ruang bagi seniman, dan pengalaman bagi wisatawan.
Di malam itu, di bawah langit Kota Lama, Antareja menemukan keberaniannya.Dan Semarang menemukan kembali suaranya. Seni tradisi tidak mati—ia hanya menunggu dipanggil pulang. Dan WOTS telah menjadi rumah pulang itu ! (*)




