Semarang, 12 Oktober 2025 — Suasana penuh kehangatan dan refleksi menyelimuti sebuah ruang di Rumah Mataram 360 sore itu. Diskusi bedah buku “Janda: Kisah-Kisah Perempuan Pemimpin Keluarga” terbitan Elfa Meditama tidak hanya menghadirkan cerita-cerita menggetarkan, tetapi juga membuka ruang perenungan mendalam tentang makna keteguhan, cinta, dan perjuangan perempuan yang menanggung beban ganda sebagai kepala keluarga.
Acara yang digelar Rumah Mataram 360, kerja bareng EIN Institute, Elfa Media ini mempertemukan berbagai perspektif dari tokoh lintas bidang: Jane Ardaneshwari selaku penggagas dan editor buku, Ellen Nugroho sebagai konselor keluarga, Michael Deo dari ranah hukum, serta Dr. Tedi Kholiludin, sosiolog yang menyoroti fenomena sosial perempuan kepala keluarga. Diskusi ini dipandu dengan hangat oleh moderator Yvonne Sibuea.
Suara-suara Perempuan yang Lama Terpinggirkan
Dalam paparannya, Jane Ardaneshwari menegaskan bahwa antologi ini bukan sekadar dokumentasi kisah, melainkan bentuk perlawanan terhadap budaya yang kerap menstigmatisasi status janda.
“Buku ini adalah ruang bagi perempuan yang sering kali tak punya tempat untuk bersuara. Mereka tidak minta dikasihani, hanya ingin didengar dengan hormat,” ujarnya.
Kisah-kisah dalam buku tersebut menampilkan pengalaman autentik perempuan yang bangkit dari kehilangan, membesarkan anak sendirian, sekaligus menegosiasikan martabat di tengah masyarakat yang kerap menilai sebelah mata.
Perspektif Lintas Bidang: Dari Hukum hingga Psikologi
Ellen Nugroho menguraikan tantangan psikologis yang dihadapi perempuan setelah kehilangan pasangan. “Banyak yang berusaha tampak kuat di luar, tetapi belum selesai secara emosional. Proses adaptasi dan penerimaan tidak bisa dipaksakan,” jelasnya.
Sementara itu, Michael Deo menyoroti pentingnya literasi hukum bagi perempuan. “Masih banyak perempuan yang tidak mengetahui haknya dalam hal hak asuh dan pembagian harta. Negara harus hadir untuk memastikan keadilan bagi mereka,” tegasnya.
Dr. Tedi Kholiludin menambahkan dimensi sosiologisnya, menggambarkan bagaimana janda kerap harus bernegosiasi dengan ekspektasi sosial yang menuntut mereka ‘tampil pantas’. “Mereka memainkan seni manajemen kesan agar diterima oleh lingkungannya — sebuah bentuk politik eksistensi yang sangat manusiawi,” tuturnya.
Harapan dan Seruan Perubahan
Dalam sambutannya, tokoh masyarakat yang juga Owner Rumah Mataram 360 Widjajanti Dharmojoewono menyampaikan apresiasi atas terbitnya buku ini. Ia menilai, karya tersebut bukan hanya dokumentasi sastra, tetapi juga bentuk advokasi moral. “Kisah para perempuan ini adalah kesaksian tentang iman, kasih, dan keberanian. Mereka bukan korban, mereka adalah pemimpin,” ucapnya penuh semangat.
Diskusi yang interaktif juga diwarnai dengan testimoni dari peserta yang turut membagikan pengalaman hidup sebagai orang tua tunggal. Keharuan tampak ketika beberapa di antaranya mengaku baru kali ini merasa kisah mereka benar-benar diakui.
Lebih dari Sekadar Buku
“Janda” bukan hanya antologi kisah, tetapi juga manifesto keberanian. Ia menantang stereotip lama dan menegaskan bahwa status janda bukanlah akhir dari perjalanan, melainkan awal dari babak baru kehidupan. Sebagaimana dituturkan Jane di akhir acara, “Setiap kali mendengar kata janda, semoga yang terlintas bukan belas kasihan, melainkan penghormatan — kepada seorang perempuan yang mandiri, bermartabat, dan penuh kasih.”
Acara bedah buku ini menutup dengan harapan akan lahir lebih banyak ruang dialog yang menumbuhkan empati, sekaligus kebijakan publik yang berpihak pada perempuan kepala keluarga. (Christian Saputro)




