Oleh: Christian Heru Cahyo Saputro, Jurnalis, penyuka seni tinggal di Tembalang, Semarang
Sore itu, cahaya matahari menari malu-malu di sela dedaunan di Jalan MT Haryono No.360. Rumah Mataram 360 berdiri anggun, seperti sedang menunggu sesuatu yang sakral. Dan memang, hari itu bukan hari biasa. Tanggal 1 Agustus 2025 bukan hanya penanda waktu, tapi juga peringatan. Sebuah kenangan. Sebuah kehilangan. Sebuah cinta yang dilukis dalam warna dan bentuk oleh Rahel Yosi Ritonga, dalam pameran tunggal bertajuk IBU: Cinta, Pengorbanan, Pengaruh, dan Kehilangan.
Tepat setahun setelah kepergian sang ibu, Yosi mengubah duka menjadi bahasa rupa. Ia mengundang kita bukan untuk melihat, tapi untuk mengalami. Melalui lukisan-lukisannya, kita diajak menyusuri lorong emosi yang rapuh namun kuat, sunyi tapi pekat. Di setiap kanvas, tergambar pengorbanan yang tidak bersuara. Di setiap warna, tertulis cinta yang tak selesai diucapkan.
Mewakili Pemerintah Kota Semarang, Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata, R Wing Wiyarso Poespojoedjo, membuka pameran dengan sebuah pernyataan menggugah:”Semarang bukan lagi kuburan seni. Semarang adalah ladang subur bagi mereka yang ingin menanam karya, menuai makna.”
Ucapan itu bukan sekadar jargon. Kehadiran tokoh-tokoh penting seperti anggota DPRD Kota Semarang Melly Pangestu, para seniman, budayawan, serta masyarakat umum yang memadati Galeri 360 membuktikan bahwa Semarang kini bukan hanya kota tua dengan arsitektur kolonial—tetapi kota dengan denyut seni yang hidup.
Ruang, Kenangan, dan Doa
Ketua pelaksana pameran sekaligus pemilik Galeri 360, Dr. Widjajanti Dharmowijono, menyebut rumahnya sebagai saksi banyak pameran. Tapi tidak ada yang seintim dan sepribadi ini.
“Tidak semua perempuan adalah ibu. Tapi kita semua pasti punya seorang ibu. Dan hari ini, kita mengenang, bukan dengan air mata, tapi dengan karya,” ucapnya, menahan haru.
Di salah satu sudut ruangan, ada tangga kecil yang membawa pengunjung naik ke ruang utama pameran. Di sanalah, setiap langkah terasa seperti ziarah—menapak ke ruang yang penuh kerinduan, penghormatan, dan refleksi.
Kurasi Emosional dan Ritual Urban
Kurator pameran, Gita Listiyani Raharjo, hadir lewat video dari Sydney. Baginya, pameran ini bukan sekadar pameran. Ia menyebutnya sebagai ritual urban—sebuah upaya manusia modern untuk menghadapi fase-fase besar kehidupan: kelahiran, pernikahan, kematian, dan… kehilangan seorang ibu.
“Di masa lalu, kita punya upacara. Tapi hari ini, kita punya pameran seperti ini. Untuk melampaui, untuk berdamai, untuk menemukan diri kembali,” katanya.
Lukisan Sebagai Doa
Yosi sendiri berdiri dengan suara bergetar, tapi teguh. Ia bukan hanya bercerita tentang ibunya—ia sedang mengundang kita semua untuk mengingat ibu kita sendiri. Ia menyebut bagaimana kehilangan sang ibu membuat hidupnya goyah, tetapi seni menjadi jembatan untuk bangkit.
“Satu tahun lalu, mama pulang ke rumahnya di surga. Dan hari ini, saya mempersembahkan pameran ini untuknya… dan untuk semua ibu di dunia,” ujarnya.
Tak sedikit yang menitikkan air mata.
Buket bunga dalam lukisannya bukan sekadar simbol. Itu adalah penghormatan untuk ibu-ibu yang mencintai dalam diam—yang membersihkan rumah, memasak, menghibur, merawat, dan menyembuhkan tanpa jeda. Bahkan, Yosi mengaitkan sosok ibu dengan pahlawan super: “Ibu adalah Avengers bagi keluarganya.”
Semarang dan Janji pada Seni
Pameran ini bukan akhir. Ia adalah panggilan. Pemerintah Kota Semarang membuka ruang lebih luas untuk seniman, untuk berkarya, bercerita, dan menyentuh hati masyarakat. “Kami siap bersinergi, memfasilitasi, dan mempromosikan. Semarang akan menjadi surganya para seniman,” kata R Wing.
Semakin banyak seniman muncul dengan karya tunggalnya. Semakin banyak ruang-ruang alternatif lahir. Semakin banyak anak muda yang memilih melukis luka menjadi karya, dan mengubah kesedihan menjadi harapan.
Pameran Rahel Yosi Ritonga menjadi simbol. Bahwa seni tak pernah mati. Ia hanya menunggu waktu dan ruang yang tepat untuk menyapa kita kembali.
Dan hari itu, Semarang menjelma ibu: memeluk, memahami, dan merawat. (*)
📍 Pameran berlangsung di Rumah Mataram 360, Jl. MT Haryono No.360, Semarang
📅 1–10 Agustus 2025
Datanglah. Bawa kenanganmu. Bawa ibumu dalam hatimu.ai sosok yang seringkali luput dari perhatian harian kita.
Rahel Yosi Ritonga tidak hanya menyampaikan karya, tetapi menyampaikan jiwa. Ia mengajak semua orang untuk mengingat ibu, tidak dengan tangis, tetapi dengan penghormatan yang tulus dan penuh warna. (Christian Saputro)




