Semarang – Kolektif Hysteria dari Semarang mengadakan pemutaran film dokumenter yang bertajuk “Legiun Tulang Lunak: 20 Centimeters per Year” di Malaysia: Kuala Lumpur (21-22/06), dan Ipoh (24/06).
Kegiatan ini berkolaborasi dengan Moutou (Kuala Lumpur), Ruang Rampai (Kuala Lumpur), dan Kinta Zine Club (Ipoh), tidak hanya memutar film, ada beragam kegiatan lainnya seperti workshop dan jalan-jalan bersama.
Sesi pemutaran film dan diskusi yang dilakukan Kolektif Hysteria diwakili oleh Ahmad Khairudin (biasa dikenal sebagai Adin), Andi Pratomo (Kartun), Galih, dan Humam.
Pemutaran film dokumenter tersebut mendapatkan antusiasme yang tinggi dari para kolektif lokal yang ada di sana, mereka merasa terinspirasi dan tesentuh karena Hysteria mampu bertahan selama dua dekade penuh.
Para kolektif di Malaysia juga menyatakan bahwa mereka mengalami kesulitan yang serupa, mulai dari minimnya dukungan pemerintah, sulit dalam mendapatkan ruang alternatif, dan masalah regenerasi.
Namun, mereka pada umumnya hanya bertahan selama 2-3 tahun, kemudian muncul kembali sebagai kolektif baru dengan beberapa anggotanya berasal dari kolektif yang lama.
“Salah satu yang membuat mereka kagum adalah bagaimana Hysteria bisa bertahan hingga 20 tahun,” ujar Kartun, perwakilan Hysteria.
“Mereka curhat, bertanya, dan akhirnya semangat, karena ternyata ada yang berhasil melewati tantangan yang sama,” lanjutnya.
Saat sesi diskusi, kolektif di Malaysia juga menyatakan bahwa mereka hanya sering berjejaring dengan sesama kolektf, dan jarang melibatkan masyarakat sekitar.
Hal ini dapat terjadi karena pada umumnya, masyarakat di Malaysia memiliki rutinitas bekerja di kantoran setiap harinya, dan cenderung individualisme.
Selain itu, kondisi infrastruktur di Malaysia yang didominasi oleh zona komersial dan pemukiman vertikal di wilayah ibu kota, menyulitkan para kolektif untuk berinteraksi secara langsung dengan masyarakatnya.
Kondisi ekosistem tersebut sangat berbeda dengan ekosistem di Kolektif Hysteria, mereka sering kali mengadakan kegiatan yang melibatkan warga sekitarnya, meskipun dibutuhkan waktu yang lama untuk melakukan hal ini.
Selain itu, kondisi infrastruktur di Semarang tidak bersifat eksklusif dan wilayahnya padat dengan pemukiman penduduk yang memudahkan Hysteria untuk berjejaring dengan masyarakatnya.
Meski memiliki ekosistem yang berbeda, semangat kolektif tetap menjadi benang merah yang menghubungkan.
Kehadiran dokumenter dari Hysteria menjadi pemantik diskusi lintas batas, dan membuka peluang untuk berefleksi.
Kunjungan ini merupakan bagian dari perjalanan Bandeng Keliling Asia, tur regional Kolektif Hysteria menuju pelaksanaan biennale Penta K Labs V yang akan digelar Agustus 2025 di Semarang, Indonesia. (Christian Saputro/ril)