Solo, September 2025 — Di antara rindangnya Taman Balekambang, ratusan payung menggantung dan mekar seperti bunga-bunga langit. Mereka tak sekadar peneduh, tapi pembawa cerita, penanda warisan, dan simbol penghormatan pada ingatan. Inilah Festival Payung Indonesia (FESPIN) 2025, yang kembali hadir membawa warna, narasi, dan nyawa dari masa ke masa.
Tahun ini, FESPIN mengangkat tema “Catra Panji”, sebuah penghormatan kepada kisah Panji — narasi cinta, pengembaraan, dan kebajikan dari tanah Jawa yang kini telah tercatat sebagai Ingatan Dunia UNESCO. Cerita Panji bukan hanya dongeng; ia adalah jembatan antarbangsa, mengalir dari Jawa ke Asia Tenggara, menenun persahabatan antarbudaya.
Selama tiga hari, dari 5 hingga 7 September, lebih dari 75 grup seni dari berbagai penjuru Indonesia hadir di panggung-panggung terbuka. Mereka menari, bernyanyi, dan bercerita dengan tubuh dan jiwa. Sementara di antara mereka, 35 fashion designer memamerkan karya yang tak sekadar pakaian, melainkan perayaan identitas. Fanny Soegi, dengan suara yang lembut namun menggugah, akan menyulam langit senja Solo dengan nada-nada cinta.
Dari Thailand, Sankamphaeng Culture Center hadir membawa keindahan budaya serumpun—tarian, lukisan payung, dan fashion show yang mengalirkan angin Asia dalam satu panggung.
Di sela pertunjukan, pengunjung dapat menyusuri Kampoeng Rempah, di mana aroma kayu manis dan bunga kenanga mengundang untuk kembali mengenal tradisi wellness Jawa. Di pojok lain, Pameran Museum FESPIN menjadi ruang kontemplasi—menyusuri jejak festival dari 2014 hingga kini.
Dan yang tak kalah istimewa, peluncuran buku “Catra Panji: Cerita Panji & Dongeng Nusantara” menjadi peristiwa literasi yang merangkul masa lalu dan menyalakannya ke masa depan.
FESPIN 2025 bukan sekadar festival; ia adalah doa terbuka, tempat budaya tak hanya dipertontonkan, tapi dirayakan dan dirawat. Di bawah payung-payung yang melindungi dan merangkul, Solo kembali menjadi rumah bagi Indonesia—dan Asia—yang beragam namun satu dalam cerita. (Christian Saputro)




