Semarang, 6 Desember 2025 — Wayang Orang Ngesti Pandowo kembali memukau publik melalui pementasan lakon “Dahyang Druna” dalam ajang Pentas Apresiasi Warisan Budaya Tak Benda (WBTb) 2025 di Gedung Taman Budaya Raden Saleh (TBRS), Sabtu (6/12). Ratusan penonton memadati gedung, menyaksikan salah satu kelompok seni tertua Indonesia itu menafsirkan ulang kisah tragis guru agung Hastina dengan sentuhan dramatik yang kuat dan relevan.
Pertunjukan digarap oleh tim kreatif Ngesti Pandowo: Sutradara Budi Lee, Penata Tari Paminto Krisna, dan Penata Musik Githung Swara, yang berhasil menghadirkan pertunjukan penuh disiplin tubuh, dialog emosional, serta komposisi musik yang menegaskan intensitas cerita.
Acara turut dihadiri Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Semarang, Indriyasari, serta Kabid Kebudayaan, Sarosa, yang memberikan apresiasi atas konsistensi Ngesti Pandowo merawat tradisi wayang orang sejak didirikan pada 1937—tradisi yang kini telah ditetapkan sebagai Warisan Budaya Tak Benda Indonesia.
Tragedi Seorang Guru: Dari Dharma ke Dilema
Lakon Duhyang Druna membuka kembali perjalanan Begawan Druna, guru besar Kurawa dan Pandawa, yang hidupnya terombang-ambing antara idealisme, utang budi, dan pergulatan batin. Sejak awal, penonton diajak menyelami kisah Druna yang berasal dari keluarga brahmana miskin dan berjuang memenuhi janji kepada istrinya, Dewi Kripi. Penderitaan hidup memaksa Druna menerima uluran tangan Prabu Duryudana, yang menjanjikan kehormatan dan masa depan bagi putranya, Aswatama.
Pilihan itu menjadi awal dari belenggu panjang. Ngesti Pandowo menampilkan dinamika batin Druna dengan kuat—seorang guru yang teguh memegang dharma, tetapi terjebak dalam pusaran politik Hastina. Ketika Kurawa dan Pandawa saling berhadapan di medan Bharatayudha, Druna harus memilih sisi bukan karena kebencian, melainkan karena rasa wajib dan harga diri yang menyesakkan.
Adegan klimaks pecah saat kabar palsu mengenai tewasnya Aswatama dikabarkan sebagai strategi perang. Druna yang dikenal teguh dan bijak runtuh seketika sebagai seorang ayah. Ia meletakkan senjata dan kembali pada laku brahmana, sebelum kemudian dibunuh oleh Drestadyumna—muridnya sendiri.
Momen ini dipentaskan dengan intensitas emosional tinggi dan menjadi titik yang paling memukau penonton malam itu.
Ngesti Pandowo, Konsistensi yang Menjaga Tradisi
Pentas Duhyang Druna tidak hanya menampilkan tragedi seorang guru, tetapi juga menegaskan kemampuan Ngesti Pandowo membaca tema-tema kemanusiaan dalam epos Mahabharata. Kekuatan akting, tari, rias, kostum, serta iringan musik hidup menjadi bukti bahwa kelompok ini terus memperbaharui estetika tradisi tanpa kehilangan akar budaya.
Kadisbudpar Semarang, Indriyasari, menyampaikan apresiasinya. “Ngesti Pandowo bukan sekadar pelestari, tetapi penjaga denyut seni pertunjukan yang sudah menjadi identitas Kota Semarang,” ujarnya seusai pertunjukan.
Dengan sambutan hangat penonton dan kualitas pementasan yang terjaga, Duhyang Druna menjadi salah satu penutup tahun yang impresif bagi dunia seni pertunjukan Semarang. Lakon ini memperlihatkan bagaimana kisah epik dapat terus hidup—menyentuh, menggugah, dan memberi ruang refleksi bagi penonton masa kini. (Christian Saputro)




