Oleh:Christian Heru Cahyo Saputro, Jurnalis SKH Sumatera Post, tinggal di Semarang.
Semarang, 28 Oktober 2025 — Pagi itu, hujan turun perlahan di pesisir Tambakrejo, Tanjungmas. Di sela gerimis, ombak kecil menepi ke pantai membawa aroma asin laut dan suara tawa nelayan. Di tepi dermaga sederhana, tampak puluhan warga menyiapkan jaring, ember, dan tali panjang. Hari itu bukan hari biasa—hari itu adalah Panen Raya Kerang Hijau, sebuah momentum yang lahir dari perjuangan panjang warga Tambakrejo dalam menjaga laut dan kehidupan mereka.
Laut yang Tak Pernah Tidur
Laut bagi warga Tambakrejo bukan sekadar hamparan air biru yang membentang di ufuk timur. Ia adalah nadi kehidupan. Namun, dalam dua dekade terakhir, laut yang dulu ramah kini mulai menantang. Reklamasi, abrasi, dan aktivitas industri di sekitar pesisir membuat ikan-ikan menjauh, tangkapan menurun, dan harapan perlahan menipis.
Di tengah kesulitan itu, muncul gagasan sederhana tapi revolusioner: membangun rumpon kerang hijau. Dari tangan-tangan nelayan yang terbiasa menghadapi badai, lahirlah inisiatif baru—membangun ekonomi laut tanpa merusak laut.
“Kerang hijau ini seperti hadiah dari laut bagi yang sabar,” ujar Dani, Ketua Koperasi Kampung Nelayan Tambakrejo Sejahtera, sambil menatap tumpukan kerang yang baru saja diangkat dari rumpon. “Dulu kami berjuang mencari ikan sampai jauh ke tengah laut. Sekarang, laut di depan rumah pun bisa memberi kehidupan.”
Rumpon, Harapan yang Tumbuh di Dasar Laut
Rumpon—struktur sederhana dari tali dan bambu yang berfungsi menarik biota laut—menjadi kunci kebangkitan ekonomi Tambakrejo. Dengan pendampingan Disaster Management Center (DMC) Dompet Dhuafa, WALHI Jawa Tengah, dan FOCUS, nelayan setempat berhasil mengubah teknologi tradisional menjadi sumber keberlanjutan.
“Kami ingin masyarakat pesisir tidak hanya bertahan, tapi juga tangguh menghadapi krisis iklim,” jelas Juperta Panji Utama, Sekretaris Divisi DMC Dompet Dhuafa. “Kerang hijau ini adalah bukti bahwa pemberdayaan, jika berpihak pada rakyat, bisa menghasilkan kemandirian.”
Rumpon-rumpon itu kini menjadi ladang ekonomi baru. Tidak hanya menghasilkan kerang hijau untuk pasar lokal, tetapi juga menjadi simbol kedaulatan pangan laut. Setiap tali rumpon menyimpan cerita kerja keras, gotong royong, dan harapan yang tak lekang oleh gelombang.
Koperasi sebagai Rumah Harapan
Koperasi Sejahtera menjadi poros gerakan ini. Dengan dua rumpon aktif—satu dari bantuan WALHI Jawa Tengah dan satu lagi dari DMC Dompet Dhuafa—mereka menanam mimpi yang tumbuh seiring dengan setiap panen.
“Kami ingin koperasi ini bukan hanya tempat jual beli hasil laut, tapi rumah ekonomi bersama,” kata Dani. Ia juga menyebut rencana pengembangan budidaya air tawar agar warga yang tak bisa melaut tetap bisa berpartisipasi.
Ahmad Baikhaki, Kepala Bidang Lingkungan DMC Dompet Dhuafa, menambahkan, “Kami dorong warga agar terus beradaptasi. Rumpon ini bukan sekadar alat tangkap, tapi simbol resiliensi menghadapi perubahan zaman.”
Panen Raya: Lebih dari Sekadar Hasil Laut
Panen Raya Kerang Hijau bukan hanya selebrasi hasil tangkapan, tetapi juga perayaan martabat manusia pesisir. Di sela acara tasyakuran dan diskusi di Masjid Itikaf Al Firdaus, warga berbagi cerita dan cita-cita.
“Ini bukan sekadar panen, tapi bukti hidup dari perjuangan komunitas menjaga ruang hidup mereka,” tutur Fahmi Bastian, Direktur Eksekutif WALHI Jawa Tengah. “Kerang-kerang hijau ini tumbuh bukan dari proyek besar, melainkan dari cinta rakyat kepada lautnya sendiri.”
Fahmi masih ingat masa-masa ketika warga Tambakrejo harus berjuang mempertahankan tanah dan laut mereka dari ancaman penggusuran pada 2019. Kini, enam tahun berselang, perjuangan itu berbuah manis.
Tambakrejo tak lagi dikenal sebagai wilayah terpinggirkan, melainkan sebagai contoh ekonomi pesisir berbasis komunitas yang tangguh dan berkeadilan.
Dari Laut, Kembali ke Laut
Sore menutup hari panen dengan langit jingga yang membias di permukaan air. Anak-anak berlarian di tepi pantai sambil membawa sisa cangkang kerang, sementara para nelayan membersihkan jaring dengan wajah lega.
Di tengah suara debur ombak, laut seakan berbisik lembut: bahwa perjuangan panjang ini belum berakhir, tapi kini mereka tahu—gelombang bisa menjadi sahabat jika manusia tahu cara mendengarkan laut.
Tambakrejo telah membuktikan satu hal: kemandirian tak harus datang dari modal besar atau teknologi tinggi. Ia tumbuh dari kesadaran, solidaritas, dan cinta kepada tanah dan laut yang telah memberi kehidupan selama berabad-abad.
Dari gelombang perjuangan hingga gelombang panen, kisah ini menjadi pengingat bahwa di balik setiap butir garam laut, tersimpan doa dan harapan rakyat yang tak pernah lelah mencintai lautnya. (*)


