Semarang, 30 Agustus 2025 — Gedung Kesenian Sobokartti malam itu seperti kembali ke masa silam. Aroma dupa bercampur dengan gemerincing gamelan, suara kendang, dan riuh rendah penonton yang sudah memenuhi kursi. Di panggung, layar kelir berdiri tegak, siap menjadi dunia bagi tokoh-tokoh pewayangan yang hidup dalam bayangan cahaya blencong.
Acara “Dari Kita untuk Kita #2” menghadirkan pagelaran wayang kulit dengan lakon “Sang Bratasena”, dimainkan secara kolektif oleh lima dalang muda berbakat: Ki dr. Febri Gondo Sucipto, Fatah Kevin Yudistira, Ki M. Asy’Aril, Ki Rendy Octavianto, dan Ki Jagad Bilowo. Sebelumnya, sebagai pembuka, Gesit Rahardyan, seorang dalang cilik, menampilkan lakon “Dursosono Gugur” dengan kepiawaian yang membuat kagum hadirin.
Malam Dimulai dengan Doa dan Tari
Sebelum tirai pertunjukan dibuka, Ki KRT Suraji Kusuma—pamong sekaligus penata karawitan—bersama Nyi Titin Rezeki menyerahkan tokoh wayang yang akan dipagelarkan. Suasana menjadi khidmat ketika Ir. Sumarni, mewakili Ketua Sobokartti Djamal Sutrisno, memberikan sambutan.
“Tujuan kita adalah nguri-uri budoyo Jowo. Sobokartti selalu terbuka untuk siapa saja yang ingin belajar pedalangan, karawitan, tari, atau seni tradisi lainnya. Dan malam ini, sebelum kita mulai, marilah kita sisihkan waktu setengah menit untuk berdoa, mendoakan Indonesia agar kembali baik, tenteram, dan sehat seperti dulu. Kita juga mendoakan keluarga besar Sobokartti, termasuk istri Mbah Tris yang sedang sakit, serta mengenang 100 tahun Ki Narto Sabdo, maestro yang menjadi suluh kita,” ujar Sumarni dengan suara bergetar.
Doa bersama itu membuat malam terasa penuh makna, seolah kesenian dan spiritualitas bertaut dalam satu simpul.
Tak lama kemudian, Siswi Sanggar Tari Sobokartti menampilkan Beksan Golek Manis sebagai ekstra show. Gerak anggun mereka menjadi pembuka indah sebelum kisah Bratasena dimulai. Musik pengiring dari Gesit Rahardyan dan Fatah Kevin Yudistira menambah semarak, memadukan ketukan kendang dengan alunan suling yang lirih.
Sang Bratasena: Ksatria Rakyat Kecil
Lakon utama, “Sang Bratasena”, mengisahkan perjalanan ksatria Pandawa, putra Werkudara (Bima) dan Dewi Nagagini. Bratasena digambarkan sebagai sosok jujur, sederhana, lugu, namun berani menghadapi ketidakadilan.
Malam itu, para dalang muda menghadirkan adegan demi adegan penuh ketegangan: Bratasena melawan raksasa, menghadapi makhluk gaib, hingga diuji secara moral ketika harus memilih antara kepentingan pribadi dan keadilan rakyat.
Salah satu puncak cerita adalah saat Bratasena menentang seorang raja lalim yang menindas rakyat. Dengan keberaniannya, ia menjadi simbol kekuatan kaum kecil yang tak mau tunduk pada penguasa sewenang-wenang.
Penonton terpukau bukan hanya karena aksi heroik, tetapi juga filosofi yang terkandung: bahwa kekuatan sejati lahir dari keberpihakan pada kebenaran dan kesetiaan terhadap nilai-nilai luhur.
Generasi Baru, Nafas Baru
Pagelaran ini menjadi istimewa karena mempertemukan dalang lintas generasi. Dari dalang cilik seperti Gesit Rahardyan, hingga dalang muda yang sudah piawai memainkan suara, sabetan, dan dialog. Kehadiran mereka menjadi bukti bahwa tradisi wayang kulit masih berdenyut kuat, menemukan ruang baru di hati generasi sekarang.
Di tengah gempuran hiburan modern, Sobokartti tetap setia menjadi rumah bagi kebudayaan Jawa. Seperti yang diungkapkan Sumarni, panggung ini bukan hanya tempat pertunjukan, tetapi juga ruang belajar, ruang silaturahmi, dan ruang doa.
Malam Penuh Makna
Hingga larut malam, penonton tetap bertahan. Suara gamelan berpadu dengan dialog penuh humor khas pewayangan, sesekali memunculkan gelak tawa, lalu kembali tenggelam dalam renungan.
Pagelaran “Dari Kita untuk Kita #2” membuktikan bahwa seni tradisi masih mampu bicara, bukan hanya tentang masa lalu, tapi juga tentang masa kini—tentang keberanian melawan ketidakadilan, tentang kesetiaan pada kebenaran, dan tentang doa yang dipanjatkan untuk negeri.
Dan di balik layar kelir, cahaya blencong terus menyala, seolah berkata: selama budaya dijaga, bangsa ini tak akan pernah benar-benar padam. (Christian Saputro)




