Oleh Christian Heru Cahyo Saputro, jurnalis penyuka literasi
Kota Lama Semarang sore itu terasa hangat. Di antara bangunan tua dengan dinding berlumut dan jendela berukiran, sebuah ruang sederhana berubah menjadi titik temu imajinasi. Semarang Creative Hub menjadi tuan rumah bagi Hysteria Zine Fest 2025, sebuah perayaan yang tak hanya menampilkan kertas-kertas penuh tulisan, kolase, dan ilustrasi, tetapi juga menghadirkan denyut resiliensi—daya bertahan di tengah derasnya arus zaman.
Zine, medium alternatif yang lahir dari fotokopian sederhana, seakan menolak punah. Justru di balik kesederhanaannya, ia menemukan kekuatan: kebebasan penuh untuk menulis, menggambar, dan berteriak melawan sunyi. “Zine sudah ada sejak lama, bentuknya bisa sangat sederhana, tapi justru di situlah kekuatannya. Ia selalu menjadi ruang untuk berbicara di luar arus utama,” ujar Albertus Hendy Christian, Kepala Proyek Hysteria Zine Fest, dengan mata berbinar.
Lembaran yang Tak Pernah Diam
Tema “Resiliensi” mewujud dalam pameran dan lapak-lapak mandiri. Enam zinester hadir langsung, membuka lapak dari kota-kota berbeda: Bekasi, Surabaya, Solo, Tegal, Ungaran, hingga Demak. Dua puluh lainnya menitipkan karya, bahkan dari Bali dan Pontianak. Di setiap lembar zine, pengunjung menemukan cerita yang beragam: catatan personal yang getir, narasi urban yang penuh ironi, hingga puisi-puisi yang menolak redup.
Suasana festival terasa seperti pesta kecil yang intim. Di meja panjang, pengunjung duduk dengan kepala menunduk, larut membaca pocket zine. Di sudut lain, diskusi berlangsung hangat. Workshop mencetak zine sendiri membuat anak muda penasaran mencoba. Setiap interaksi menghadirkan kegembiraan sederhana: bahwa menulis, menggambar, dan berbagi selalu mungkin dilakukan siapa pun, tanpa syarat, tanpa harus menunggu izin.
Dari Semarang ke Palestina
Namun tahun ini, Hysteria Zine Fest bukan hanya tentang merayakan kreativitas lokal. Solidaritas untuk Palestina mendapat ruang khusus. Di salah satu meja pamer, tersusun zine-zine yang bercerita tentang perempuan yang bertahan di tengahreruntuhan, catatan harian tentang kehilangan, hingga seruan merdeka yang dicetak tebal. Pengunjung berhenti lama, membaca, lalu menghela napas.
“Tujuannya tetap satu: menyuarakan free Palestine,” kata Albertus, yang akrab disapa Abe. Suara Palestina, yang jauh di sana, menemukan gaungnya di Semarang melalui kertas fotokopian dan tinta sederhana. Resiliensi, di sini, bukan sekadar soal personal—ia menjelma menjadi perlawanan kolektif, lintas batas, lintas bangsa.
Ekspresi yang Tak Tergantikan
Diskusi dalam festival semakin mempertegas arti resiliensi. Andika (Gambar Suka Duka) dan Aden (Sorak Sorai Zine) menekankan bahwa zine membuka jalan bagi pengetahuan yang tidak selalu diakui institusi formal. “Zine menantang apa yang dianggap sah sebagai pengetahuan,” begitu mereka menekankan.
Di sesi lain, Yunita (Oouch Studio) dan Debby (Death Sugar) berbicara tentang zine sebagai ekspresi personal. Bagi mereka, zine adalah ruang untuk menyalurkan suara yang mungkin terlalu intim atau terlalu liar untuk media arus utama. “Zine itu soal menyalurkan ekspresi. Respon orang lain nomor sekian,” ujar Yunita sambil tersenyum, seakan ingin mengatakan bahwa kejujuran pada diri sendiri adalah bentuk keberanian tertinggi.
Sebuah Perayaan Keberanian
Hysteria Zine Fest 2025 akhirnya menjadi lebih dari sekadar ajang kreatif. Ia adalah perayaan keberanian, kolektivitas, dan solidaritas. Dari meja-meja sederhana, orang bertemu, berbagi, dan saling menguatkan. Dari Semarang, pesan resiliensi mengalir, menembus batas geografis hingga Palestina, menunjukkan bahwa zine bukan sekadar lembaran kertas, melainkan ruang hidup yang terus berdetak bersama zaman.Dan di antara tembok tua Kota Lama yang menjadi saksi sejarah, lembaran-lembaran itu berbisik: suara manusia, sekecil apa pun, tak akan pernah bisa dibungkam. (*)




