Oleh: Christian Heru Chyo Saputro, Redaktur Budaya SKH Sumatera Post tinggal di Semarang.
Di bawah cahaya lampion yang temaram, aroma kecap manis dan bawang putih goreng menari di udara. Asap mengepul dari sebuah wajan raksasa yang menjadi pusat perhatian malam itu—sebuah wajan yang bukan hanya alat masak, melainkan panggung simbolik tempat rasa, budaya, dan harapan berpadu.
Sabtu malam, 4 Oktober 2025, kawasan Pecinan Semarang kembali berdenyut. Setelah beberapa tahun terhenti, Waroeng Semawis—pasar kuliner malam legendaris yang menjadi ikon kota ini—resmi diaktifkan kembali.
Dan tak ada cara yang lebih hangat untuk menandainya selain dengan memasak Bakmie Jowo bersama-sama: oleh Wali Kota Semarang Agustina Wilujeng Pramestuti, anggota DPRD, tokoh Tionghoa dan Jawa, hingga para pedagang kecil yang selama ini menggantungkan hidup di lorong-lorong sempit Pecinan.
Ketika Mie Menjadi Bahasa Persaudaraan
Bakmie Jowo malam itu dimasak dalam wajan sebesar meja bundar. Uap panasnya naik bersama tawa dan percakapan warga. Di sela dentingan spatula dan suara penggorengan, terselip kisah kota yang lama tak kehilangan rasa.
“Bakmie Jowo ini bukan hanya makanan. Ia adalah simbol,” ujar Wali Kota Agustina sambil tersenyum, mengaduk mie dengan kedua tangan. “Simbol bagaimana rasa Tionghoa dan Jawa bisa berpadu tanpa kehilangan jati diri. Dari wajan besar ini, kita belajar tentang kebersamaan.”
Dan memang, mie itu adalah bahasa yang semua orang pahami. Tak peduli dari mana asalnya, siapa yang memasak, atau lidah mana yang mencicipi—semangkuk Bakmie Jowo selalu punya cara menghangatkan.
Pecinan: Denyut yang Tak Pernah Padam
Di gang Waroeng Semawis, lampion-lampion menggantung seperti bintang merah kecil. Anak-anak berlarian di antara tenda makanan, sementara musik keroncong dari pengeras suara tua berbaur dengan seruan pedagang: “Lumpia, lumpia hangat! Sate babat, bakso urat!”
Di sebuah sudut, Harjanto Halim, tokoh Tionghoa dan pegiat komunitas Kopi Semawis, memandang suasana itu dengan mata berbinar. “Semawis adalah denyut nadi Pecinan,” ujarnya. “Kembalinya pasar malam ini bukan hanya soal ekonomi. Ini tentang menjaga warisan—tentang bagaimana Semarang bertahan karena keberagaman.”
Kata-katanya seolah menggema di antara tembok-tembok tua yang pernah menyimpan cerita getir masa lalu. Di sinilah, selepas tragedi awal 2000-an, warga Semarang belajar berdamai, menyembuhkan luka lewat aroma makanan dan tawa malam hari. Dari trauma lahirlah ruang baru: sebuah warung bersama bernama Semawis—semawis, kata dalam bahasa Jawa yang berarti “sejenak,” tetapi di kota ini berarti “selamanya.”
Makanan, Ingatan, dan Rumah
Setiap stan di Waroeng Semawis bercerita tentang perjalanan rasa dan identitas. Ada yang menjajakan tahu gimbal, ada nasi ayam Hainan, ada pula wedang ronde yang menghangatkan tangan dan hati. Masing-masing menyimpan warisan yang tak hanya dimakan, tetapi juga diingat.
“Dulu waktu pertama kali buka, cuma ada belasan stan,” kenang Markus, pemilik Kecap Mirama dan tokoh masyarakat setempat. “Sekarang ratusan. Tapi yang penting bukan jumlahnya, melainkan semangatnya—kita tumbuh bersama, saling menjaga.”
Malam makin larut, namun Pecinan justru makin hidup. Asap dari penggorengan, tawa anak-anak, aroma jahe dari wedang, dan denting musik keroncong menjelma jadi harmoni. Seolah Semarang berbicara dalam bahasa universal: rasa.
Dari Wajan ke Kota
Waroeng Semawis bukan sekadar pasar kuliner; ia adalah ruang hidup. Tempat orang datang bukan hanya untuk kenyang, tapi untuk merasakan kota. Untuk mengingat bahwa Semarang adalah persimpangan rasa dan kisah, tempat setiap suku, setiap lidah, setiap masa punya tempat di meja yang sama.
Malam itu, wajan raksasa yang mengepul di tengah Pecinan menjadi cermin bagi Semarang sendiri: kota yang besar karena mampu menampung berbagai rasa. Dari wajan itu, Semarang seperti berkata—selama kita mau memasak bersama, kita akan selalu punya sesuatu yang hangat untuk dibagikan.
Dan dari semangkuk Bakmie Jowo, Semarang kembali berkisah. Tentang kota yang tak hanya hidup dari sejarahnya, tapi juga dari rasa yang terus dijaga, disajikan, dan dibagi. (*)