Semarang — Gelaran Serikat Gigs Remaja Terpadu (SGRT) #4 yang bersinergi dengan Guyub Rupa kembali menjadi laboratorium kreatif bagi para pelaku seni muda. Tahun ini, salah satu penampil yang paling menyita perhatian adalah Death S.—duo musik eksperimental yang digerakkan oleh sejoli asal Mranggen. Mereka datang membawa pendekatan non-konvensional, menyatukan intuisi, pengalaman personal, dan isu-isu lokal dalam satu lanskap bunyi yang tak terduga.
Death S. lahir dari keinginan untuk menembus batas-batas musik yang sudah mapan. Proyek ini bukan sekadar kolaborasi dua individu, tetapi penyatuan perspektif yang setara. Dalam proses kreatif mereka, tidak ada elemen yang mendominasi. “Sebisa mungkin kami tidak ada dominasi,” ujar mereka. “Semua elemen terlibat, baik suara vokal maupun bunyi elektronik.”
Pendekatan egaliter itu membuat proses bermusik mereka berubah menjadi ruang dialog antar-bunyi. Setiap suara mencari tempatnya sendiri, saling memberi ruang, dan akhirnya membentuk karakter sonik yang khas. Sebagai pasangan sejoli, kedekatan mereka menjadi sumber spontanitas yang sulit diulang. Tidak ada jarak antara ide yang muncul dengan eksekusi; setiap inspirasi langsung diproses bersama.
Eksperimentasi bagi mereka bukan hanya soal teknik, tetapi juga bagian dari dinamika hubungan. “Eksperimental ini sesuatu yang baru, apalagi proyeknya berdua. Barunya karena ini proyek berdua,” ungkap keduanya. Musik bagi Death S. adalah cara memahami ritme emosional dan respons terhadap ruang, audiens, maupun kondisi sosial yang mereka temui sehari-hari.
Menariknya, Death S. tidak berhenti pada abstraksi. Mereka menggunakan musik eksperimental sebagai medium untuk menyuarakan isu-isu yang jarang terdengar, terutama yang bersumber dari kehidupan lokal di Mranggen. “Kami ingin menyuarakan hal-hal yang selama ini tidak pernah didengar. Makanya kami sering membawakan isu daerah,” katanya. Dengan memadukan elektronik, repetisi vokal, dan struktur bunyi yang bergerak liar, mereka menghadirkan kisah-kisah kecil dari kampung halaman dalam bentuk pengalaman auditori yang segar.
Kehadiran mereka di SGRT #4 menunjukkan bahwa kreativitas tidak harus datang dari institusi formal. Justru dari ruang-ruang personal lahir gagasan yang orisinal. Dengan dukungan ekosistem komunitas seperti Kolektif Hysteria dan Guyub Rupa, karya-karya berbasis pengalaman lokal dapat bergerak lebih jauh, membuka diskusi dan kolaborasi baru di antara pelaku seni muda.
Setiap pertunjukan Death S. menawarkan atmosfer berbeda. Ada momen ketika lapisan elektronik bergerak perlahan, kemudian disusul bacaan sajak yang menghentak. Strukturnya yang non-linear membuat sebagian penonton terkejut, namun justru di situlah daya tarik utama mereka. Death S. mengajak audiens keluar dari ekspektasi musik pada umumnya—mengalir, mendengar, dan merasakan dengan intuisi.
Menutup penampilannya, mereka menyampaikan pesan sederhana bagi para kreator muda yang hadir. “Terus berkarya. Suarakan apa yang harus kalian suarakan.” Sebuah pesan yang mencerminkan perjalanan mereka sendiri: keberanian untuk memilih jalur yang tidak lazim, serta keteguhan untuk tetap jujur pada suara dan pengalaman hidup.
Dengan tampilnya Death S., SGRT #4 x Guyub Rupa menunjukkan spektrum karya yang kian beragam. Acara ini bukan sekadar ruang menonton, melainkan tempat mengalami cara baru memahami seni dan bunyi. Death S. membuktikan bahwa musik eksperimental bisa menjadi medium yang kuat untuk menyampaikan gagasan, membangun kedekatan, dan mengangkat cerita-cerita lokal yang selama ini tenggelam di balik hiruk-pikuk kota. Mereka memberi warna baru bagi ekosistem seni lokal Jawa Tengah—sebuah penanda bahwa suara dari pinggiran pun memiliki tempat penting dalam lanskap kreatif hari ini. (Christian Saputro/ril)




