Cilacap – Pendiri Kolektif Hysteria, Yuswinardi kembali kelilingkan Bandeng ke titik pemberhentian selanjutnya, yakni Cilacap pada hari Senin, 10 Maret 2025.
Berlokasi di Mabes Sangkanparan, Jl. Ganggeng Barat, Mertasinga, Cilacap Utara, Film Dokumenter “Legiun Tulang Lunak: 20 Centimeters per Year” mulai diputar, sekitar pukul 15.00 WIB.
Setelah itu, dibuka sesi diskusi yang dipandu oleh Rinda sebagai moderator dan Yuswinardi berduet dengan Tofik Suseno selaku Ketua Sangkanparan Multimedia Art, sebagai narasumber diskusi.
Dalam perbincangan tersebut, Yuswinardi mengatakan bahwa manifesto Tulang Lunak Bandeng Juwana, merupakan representasi dari perjalanan Kolektif Hysteria yang telah berhasil bertahan sebagai komunitas seni dan budaya selama 20 tahun di Kota Semarang.
Manifesto itulah yang mencoba ditularkan Yuswinardi melalui pemutaran film dokumenter, hingga diskusi terkait dua buku dengan tajuk yang sama.
Berbicara tentang kebertahanan sebuah komunitas, Yuswinardi mengakui bahwa Hysteria telah mengalami beberapa perubahan.
“Kami menyadari, kami nggak bisa terus begini. Fokus kami awalnya kan Sastra, tapi si Adin, direkturnya yang sekarang, bikin statement, bahwa ‘Sastra itu kayaknya nggak punya masa depan’,” ungkap Yuswinardi.
“Hingga akhirnya mulailah pindah di disiplin ilmu yang lain. Dan sampai sekarang, itulah yang bikin Hysteria sampai sekarang bertahan lama,” lanjut dia.
Menurutnya, keputusan-keputusan tertentu sudah seharusnya diambil demi ketahanan kolektif untuk tetap bisa hidup dan eksis.
“Memang keputusan-keputusan tertentu harus diambil, demi ketahanan kolektif,” tegas Yus.
Terlebih ketika dinamika perkolektivan mengalami pasang-surut. Seperti halnya jumlah anggota yang hanya segelintir orang dan minim aktivasi program. Sebab kesibukan anggota lain, yang tidak bisa terus fokus untuk sepenuhnya berkolektif.
“Kami merasa waktu itu, kami harus bikin program. Meskipun waktu itu tinggal Adin (Direktur Hysteria) dan si Manajer Program, Purna. Mereka kasak-kusuk,’Ini gimana ini kelanjutnnya Hysteria’. Pernah di fase sampai kayak gitu,” kata Yuswinardi.
Akan tetapi ia mengakui, faktor lain untuk mempertahankan sebuah kolektif adalah ambisi para anggota untuk tetap bisa aktif berkegiatan.
“Keras kepala. Misalnya kalau udah bikin acara atau program dan yang datang cuma satu atau dua, atau nggak ada, biasanya terus ‘mutung’, putus asa,” singgung Yus.
“Kalau kami kayak gitu, biasanya ya udah, biasa aja sih. Mau datang berapapun orangnya, kami anggap biasa saja. Kalau yang datang banyak itu, ya bonus,” kata dia lagi.
Hal tersebut didasari dari rasa pemakluman bahwa tidak semua orang merasa program yang dihelat oleh Hysteria, adalah sebuah agenda yang penting bagi individu lain.
“Kan balik lagi, kira-kira acara ini penting nggak buat aku? Kalau datang ke acara ini, aku dapat value apa?,” ujar Yus, memisalkan.
Program-program Hysteria kemudian digelar secara terus-menerus, meskipun hanya agenda-agenda kecil.
Hingga akhirnya, mendapatkan beberapa dukungan dari stakeholder dan bisa menggelar program yang lebih besar dan berkelanjutan.
“Ya itu, awalnya fokusnya ke sastra, sampai isu-isu perkotaan. Mungkin itu salah satu keputusan besar yang akhirnya mengubah mindset kami dan membuat kami berumur lebih panjang,” kata Yus.
Dari sana, program-program Hysteria berkembang ke ranah wacana kampung-kota, dengan output festival yang didasari dari tradisi maupun potensi seni dan budaya warga setempat.
“Itu yang akhirnya orang melihat kami ‘bekerja’,” kata dia.
Agenda Tur Lawatan Jalan Terus “Bandeng Keliling” Kolektif Hysteria, digelar di 30 titik. Dua puluh lima di Jawa dan Bali, serta lima titik lain dihelat di luar negeri.
Program tersebut masuk dalam Event Strategis, atas dukungan Dana Indonesiana, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Kemendikbudristek) RI.(Christian Saputro/ril)




