Catatan kecil : Christian Heru Cahyo Saputro, Jurnalis penyuka literasi.
Semarang – Dari ruang sederhana di Semarang Creative Hub, Kotalama, sepasang hari pada 16–17 Agustus 2025 merekam denyut kecil yang terasa besar: Hysteria Zine Fest.
Dengan mengusung tema “Resiliensi”, gelaran ini bukan hanya sekadar pameran, melainkan pernyataan keras namun lirih, bahwa zine—media kecil dari lembaran fotokopian—masih hidup, masih bernafas, dan tetap menemukan relevansinya di tengah deras arus gawai dan algoritma digital.
Sore yang gerah di Kotalama tidak menyurutkan langkah belasan anak muda yang datang, membawa ransel berisi lembar-lembar tipis, lipatan booklet sederhana, juga cerita-cerita yang lahir dari ruang sunyi. Mereka adalah generasi yang menolak bungkam, memilih menyalin kata dan gambar dalam bentuk paling intim: zine.
Pujo Nugroho, mewakili kurator, mengingatkan kembali akar media ini. “Segala hal yang kaitannya dengan informasi, selalu mencari medium. Zine hadir sebagai alternatif—ia bisa menyelinap dalam diskusi kecil di taman, lapak mini gigs, atau ruang-ruang yang tak terjangkau media arus utama,” ujarnya.
Sejarahnya panjang: dari publikasi ilmiah sederhana, beranjak ke subkultur musik bawah tanah, lalu melebar ke sastra, jurnalisme warga, hingga catatan personal yang nyaris seperti buku harian. Zine berkembang dalam sunyi, tanpa gembar-gembor, tapi justru karena itulah ia bertahan.
Zine adalah resiliensi itu sendiri—ia sederhana, fleksibel, namun tajam. Dalam setiap halaman yang dilipat tangan, ada kebebasan berekspresi tanpa batas. Ia lahir dari kolektivitas, tumbuh dalam lingkaran pertemanan, lalu menjelma jaringan komunitas yang inklusif dan independen.
Di ruang pameran, deretan zine dipajang dalam berbagai rupa: dari yang hitam-putih kasar dengan fotokopi seadanya, hingga yang berwarna, penuh kolase, dan berlapis ilustrasi artistik. Ada yang berisi kritik sosial, ada pula yang sekadar curhat lirih tentang kegelisahan personal. Semua diterima dengan hangat, karena pada dasarnya zine adalah medium tanpa pagar, siapa saja bisa masuk dan keluar dengan bebas.
Hysteria Zine Fest 2025 akhirnya menjadi bukti, bahwa di balik riuh digital, masih ada ruang alternatif yang tak bisa dihapuskan. Zine bukan sekadar arsip kertas, melainkan strategi bertahan budaya. Ia mengajarkan bahwa di tengah perubahan, ekspresi manusia selalu menemukan jalan—meski hanya lewat selembar fotokopi yang berpindah tangan di sudut kota.
Dan mungkin, di situ letak kekuatan sejatinya: sederhana, sunyi, tapi abadi. (*)




