Oleh: Christian Heru Cahyo Saputro, jurnalis penjelajah tradisi dan membukukannya, tinggal di Tembalang, Semarang.
Semarang, 27 Juli 2025 – Di sudut kota Semarang, ketika dupa membumbung pelan dari altar Kelenteng Tay Kak Sie, dan tabuhan genderang mulai menggema di antara tiang-tiang berhiaskan naga, tampak sosok yang berjalan tanpa sorotan, namun membawa beban yang tak kasatmata. Dialah Bhekun—bukan nama tokoh sejarah besar, bukan pula panglima perang dalam catatan dinasti, tapi seorang penjaga kuda roh, pelindung sunyi dalam ritual budaya yang telah menyeberang abad dan samudera.
Menurut Slamet Ananta, yang lebih dikenal sebagai Peng An, Ketua Komunitas Bhekun, peran ini adalah “nafas” yang menjaga agar arak-arakan bukan semata pawai warna, melainkan prosesi batin.
Dalam setiap langkah kuda Vsam—simbol keberanian, kekuatan, dan berkah dari Timur Jauh—terkandung keyakinan yang dijaga dengan cinta dan ketekunan.
Jejak Kata, Jejak Jiwa
Bhekun. Sebuah kata yang mungkin terdengar asing, tapi begitu dalam artinya bagi komunitas Tionghoa-Jawa pesisir utara. Dalam dialek tutur, bhe diyakini bermakna pelindung, dan kun adalah kuda, kendaraan spiritual yang membawa maksud-maksud baik. Maka, Bhekun adalah ia yang menuntun kekuatan roh, mengawal Kuda Vsam agar tetap pada jalurnya—di dunia dan di alam gaib.
Mitos tua menyebut, kuda ini pernah menyertai ekspedisi Laksamana Cheng Ho, menjelajah samudera membawa pesan damai dari daratan besar. Dalam versi arak-arakan Sam Po Besar , Kuda Vsam bukanlah kuda biasa, melainkan perwujudan semangat, kehadiran gaib yang diturunkan dalam bentuk kuda-kudaan besar yang melenggang dalam irama ritual.
Dan Bhekun? Ia bukan sekadar pawang. Ia adalah penjaga gerak dan getar. Dalam kondisi trans, matanya bisa mendung oleh ketidaksadaran yang tercerahkan. Dalam diamnya, ia membaca arah angin dan maksud leluhur. Dalam setiap langkahnya, ia menjaga agar antara manusia, bumi, dan langit tetap terhubung oleh benang halus yang tak boleh putus.
Dari Para Leluhur ke Dunia Digital
Dulu, menjadi Bhekun bukanlah panggilan biasa. Ia harus melewati serangkaian pelatihan spiritual, kadang disertai pengasingan batin, dan dijalani bukan dengan ambisi, tetapi penyerahan diri. Ia harus kuat tubuhnya, tenang jiwanya, dan bersih maksudnya. Ia bertugas menjaga alat-alat suci, menyeimbangkan energi kelenteng, dan menuntun komunitas dalam upacara sakral.
Namun dunia tak pernah diam. Peran Bhekun pun berubah, menyesuaikan irama zaman. Kini, ia bisa berwujud seorang pegiat budaya, seniman pertunjukan, bahkan kreator digital yang mendokumentasikan tradisi ini dalam video dan tulisan daring. Yang tetap sama adalah jiwa menjaga—sebuah keinginan untuk merawat apa yang diwariskan, bukan demi nostalgia, tapi demi masa depan.
Peng An dan komunitasnya di Semarang bergerak dalam dua dunia. Di satu sisi mereka menjaga kelenteng, arak-arakan, kostum, dan gerakan. Di sisi lain, mereka mengajarkan anak-anak muda mengenali filosofi Bhekun, mendokumentasikannya dalam bentuk buku, film, dan pertunjukan. Karena mereka percaya: api kecil tradisi tak bisa dibiarkan padam.
Lebih dari Sebuah Peran
Menjadi Bhekun adalah menjadi jembatan. Ia menjembatani masa lalu dan masa depan, dunia kasatmata dan tak terlihat, manusia dan para leluhur. Ia menyerap nilai-nilai—kesetiaan, kesederhanaan, keberanian, dan keharmonisan—dan memancarkannya melalui setiap gerak tubuh dan getar suara kuda yang dituntunnya.
Bhekun adalah tubuh ritual yang menjelma. Ia bukan sekadar orang yang berdiri di depan patung kuda, tetapi bagian dari roh kolektif yang menjadikan arak-arakan itu hidup. Ia menyimbolkan bahwa di balik kekuatan, selalu ada penjaga yang setia. Di balik kegemilangan, selalu ada kerendahan hati.
Kuda Vsam bisa jadi lambang perjuangan. Tapi tanpa Bhekun, ia hanya jadi simbol bisu. Dengan Bhekun, ia menjadi bagian dari narasi yang terus bergerak.
Menjaga Agar Tidak Menjadi Debu
Menjaga Bhekun berarti menjaga jiwa zaman. Di tengah gedung-gedung yang meninggi dan budaya yang cepat tergerus oleh tren global, peran seperti ini bisa tampak usang. Tapi sesungguhnya, ia adalah akar yang menjaga pohon tetap berdiri.
Di Kelenteng Sam Po Kong, saat siang menjelang turun dan matahari bersinar menyala, masih terdengar suara langkah berat kuda roh. Dan di sampingnya, sosok Bhekun masih setia berjalan. Tidak menuntut apa-apa. Tidak ingin dikenal. Tapi terus hadir.Karena selama manusia masih mencari arah, masih percaya pada makna, dan masih mau berhenti sejenak untuk merenung, maka Bhekun akan tetap hidup.
Ia adalah penjaga antara dunia. Dan dalam dirinya, kita belajar bahwa tradisi bukan sesuatu yang ditinggalkan, tapi sesuatu yang terus dibawa—pelan, diam-diam, tapi tak tergantikan.
Jika dunia ini adalah pementasan besar, maka Bhekun bukan pemeran utama—tapi dialah yang memastikan panggung tetap berdiri. (*)