Catatan Christian Heru cahyo Saputro, Jurnalis tinggal di Semarang
Delapan puluh tahun Indonesia merdeka. Namun, alih-alih perayaan penuh sukacita, bulan Agustus 2025 justru ditutup dengan kepulan asap, jeritan massa, dan tangis kehilangan. Negeri yang mestinya berpesta malah diguncang gelombang amarah: protes, bentrokan, bahkan kematian.
Di tengah situasi mencekam itu, muncul sebuah suara yang berbeda. Bukan dari ruang parlemen, bukan dari gedung istana, melainkan dari hati nurani para pemuka agama dan kepercayaan di Jawa Tengah yang tergabung dalam Persaudaraan Lintas Agama (Pelita). Mereka berkumpul, di Keuskupan Kota Semarang, Semarang, Senin (01/09/2025) membacakan seruan moral, dan memilih kata-kata yang jernih ketika suasana nasional dipenuhi kata-kata kasar.
Luka di Ujung Agustus
Dimulai dari tanggal 25 Agustus, ribuan orang berbondong-bondong ke depan Gedung DPR RI. Kemarahan meletup saat wakil rakyat justru menambah tunjangan Rp 50 juta di tengah krisis ekonomi. “Sensitivitas sosial kita benar-benar diuji,” kata seorang mahasiswa yang ikut turun ke jalan.
Tiga hari kemudian, tragedi memilukan terjadi. Affan Kurniawan, seorang pengemudi ojek online, tewas terlindas kendaraan taktis Brimob saat demonstrasi. Namanya kini menjadi simbol perlawanan rakyat kecil terhadap kekuasaan yang dirasa semakin jauh dari nurani.
Kerusuhan menyebar bagai api menyambar jerami kering. Makassar terbakar—gedung DPRD dilalap api, mobil-mobil meleleh dalam kobaran, dan nyawa kembali melayang. Di Jawa Tengah, ratusan orang—termasuk perempuan, anak-anak, dan penyandang disabilitas—ditangkap tanpa prosedur jelas.
Indonesia seperti terhuyung di bibir jurang.
Suara dari Semarang
Ketika darah dan air mata berjatuhan, Pelita justru mengajak bangsa ini untuk berhenti sejenak, menengok ke dalam, dan bertanya: masihkah kita punya ruang untuk akal sehat?
“Akumulasi kekecewaan ini ibarat bisul. Jika tidak ditangani dengan bijaksana, ia bisa pecah dan membahayakan bangsa,” ujar Rm. FX. Sugiyana Pr., Vikaris Jenderal Keuskupan Agung Semarang, dalam pernyataan sikap yang dibacakan di Semarang, 1 September.
Bersama KH. Taslim Syahlan, Bhikkhu Cattamano, Pdt. Rahmat Rajagukguk, Sr. Yulia, hingga tokoh Hindu, Buddha, Khonghucu, penghayat kepercayaan, dan aktivis HAM, mereka berdiri sejajar. Tak ada atribut partai, tak ada kepentingan politik. Yang ada hanya satu seruan: perbaikan fundamental pemerintahan dengan basis moralitas, tanpa kekerasan.
Seruan Moral
Isi seruan itu sederhana, namun sarat makna. Pemerintah diminta berpihak pada rakyat, aparat dituntut menghentikan kekerasan, masyarakat diingatkan untuk tidak mudah terprovokasi, dan para pemimpin agama diminta kembali ke khitah: menjadi suara sejuk di tengah panasnya konflik.
Ada nada tegas sekaligus lembut dalam pernyataan itu. Tegas saat mengecam penjarahan, ujaran kebencian, dan politik identitas. Lembut ketika mengajak masyarakat untuk saling mendoakan agar Indonesia tetap damai.
Menenun Harapan
Di ruang publik yang penuh teriakan dan amarah, suara Pelita bagai benang tipis yang mencoba menenun kembali sobekan bangsa. Mereka tahu benang itu mungkin rapuh, namun juga tahu: tanpa benang moralitas, bangsa ini bisa hancur tercerai-berai.
“Ini bukan sekadar krisis politik, ini krisis hati nurani,” ujar Setyawan Budy, Koordinator Pelita.
Kini, bola ada di tangan pemerintah, aparat, mahasiswa, dan masyarakat. Apakah seruan moral ini hanya akan menjadi arsip di rak berdebu, ataukah menjadi titik balik menuju Indonesia yang benar-benar merdeka?
Sejarah sering kali ditentukan bukan hanya oleh letusan senjata atau gemuruh massa, melainkan juga oleh suara lirih yang berani bicara di saat kebisuan. Dan kali ini, suara itu datang dari Semarang. (*)




