Oleh David, Kurator Seni Rupa tinggal di Bandar Lampung.
Dalam lanskap seni rupa Indonesia yang kian dinamis, Pamer Pamor hadir sebagai sebuah ruang perjumpaan antara gagasan, kegelisahan, dan keberanian visual para perupa dari Lampung dan luar daerah. Di tengah arus digitalisasi yang mendominasi cara manusia memandang dunia, pameran ini menunjukkan bahwa seni tetap menjadi medan untuk memaknai fenomena sosial-budaya, sekaligus menghadirkan ruang renungan atas identitas yang terus bergeser.
Kekuatan Pamer Pamor terletak pada keberagaman medium, teknik, dan perspektif penciptaan. Setiap karya tidak sekadar ditata sebagai objek estetis, melainkan sebagai fragmen dari percakapan yang lebih luas—tentang politik, ekologi, spiritualitas, teknologi, hingga pengalaman manusia dalam realitas yang tak pasti. Garis, warna, citraan, dan simbol bekerja sebagai bahasa yang menghubungkan para kreator dengan publiknya, menjadikan ruang pamer sebagai arena dialektika.
Legenda, Alam, dan Waktu: Cara Para Perupa Merawat Ingatan
Salah satu karya yang menonjol adalah lukisan Pustanto—alumni FSRD ISI Yogyakarta sekaligus mantan Kepala Galeri Nasional Indonesia—bertajuk “Dewi Anjani” (akrilik di atas kanvas, 70 x 80 cm). Ia menghadirkan figur Dewi Anjani dalam pendekatan mitologi pewayangan, tokoh sakti pemilik Cupumanik Astagina yang mampu menyingkap rahasia langit dan bumi. Pustanto tidak sekadar menghidupkan kembali kisah klasik. Ia menegaskan bagaimana legenda mampu menjadi metafora bagi perjalanan batin manusia hari ini: tentang ujian, kutukan, penebusan, kehilangan, dan kembali menemukan jati diri. Di tengah gegap gempita zaman, sosok Anjani menjadi penanda bahwa sejarah spiritual Nusantara tetap menyala sebagai sumber inspirasi.
Berbeda dengan energi mitologis tersebut, karya Yuni Daud menghadirkan keteduhan alam dalam “Berkah Membentang” (akrilik, 120 x 90 cm). Hamparan sawah kuning dan langit biru menyampaikan perenungan tentang kesuburan, ketenteraman, dan hubungan manusia dengan tanahnya. Karya ini seperti secarik jeda yang menegur kita di tengah hiruk-pikuk perkembangan kota, mengingatkan bahwa akar keseharian masyarakat Lampung tetap bertaut pada ritme bumi.
Dari Jawa Barat, Ika Kurnia Mulyati menawarkan gagasan yang berbeda: tentang waktu yang membelenggu. Dalam “Terbelenggu Waktu” (akrilik dan bolpoin, 50 x 100 cm, 2021), ia menggambarkan kehidupan yang seolah berhenti—terhimpit antara harapan dan ketidakpastian. Waktu digambarkan sebagai sosok yang mengintai dan tak memberi ampun. Namun sinar matahari redup yang tetap hadir menghadirkan secercah harapan. Karya ini menjadi refleksi universal tentang kecemasan manusia modern, terutama ketika dunia merayap dalam ritme yang tak lagi selaras dengan batin.
Sementara itu, Nala Salsabila Fitiriana melalui karya “Paus” (akrilik di kanvas, 80 x 100 cm) menyimbolkan kekuatan yang berjalan beriringan dengan ketenangan. Ia ingin keluar dari jeruji, mencari kebebasan, dan memetaforakan harmoni kehidupan lewat figur paus—makhluk besar namun lembut, kuat namun penuh kedamaian. Gagasannya meresonansikan keresahan banyak generasi muda hari ini yang mencari ruang bernapas di tengah tekanan sosial-ekonomi dan informasi yang berjejalan.
Teknologi, Identitas, dan Kerinduan: Narasi yang Menyentuh Era Digital
Fenomena digitalisasi menjadi salah satu arus paling kuat dalam pameran ini. Yulius Benardi menyajikan kritik visual melalui karya “Kecerdasan Buatan” (mixed media, 93 x 108 cm), menggambarkan otak manusia yang dipenuhi komponen komputer. Ini bukan sekadar ilustrasi teknologi, tetapi refleksi atas bagaimana kecerdasan buatan—AI—mulai melampaui dan bahkan mendefinisikan ulang batas kemampuan manusia. Karya ini menggugah pertanyaan: Sejauh mana manusia masih memegang kendali atas pikirannya sendiri?
Di sisi lain, Sapto Wibowo, Ketua Komite Seni Rupa Dewan Kesenian Lampung, menyodorkan suasana yang kontras melalui “Black Tu Nature” (akrilik di kanvas, 140 x 140 cm). Latar hitam menjadi ruang perenungan yangx dalam, tempat publik diajak menelusuri kesadaran dan ingatan kolektif tentang pedesaan—ruang yang semakin hilang digerus modernisasi. Karya ini adalah kerinduan sekaligus kritik lembut terhadap hilangnya lanskap-lanskap tradisi yang dahulu menjadi nadi kehidupan masyarakat.
Seni sebagai Ruang Perlawanan dan Renungan
Secara keseluruhan, Pamer Pamor menampilkan arus penggayaan karya yang berani, kadang liar, dan kerap mengguncang kesadaran. Namun di balik kebebasan visualnya, masing-masing perupa tetap berpijak pada kemapanan unsur seni rupa: komposisi, garis, ruang, warna, ritme, dan gagasan yang matang. Inilah kekuatan utama pameran ini—ketika kreativitas yang ekspresif berpadu dengan refleksi yang mendalam.
Lampung hari ini adalah ruang yang sedang tumbuh, mengalami tarik-menarik antara tradisi dan modernitas, antara lokalitas dan globalisasi, antara alam dan teknologi. Pamer Pamor menangkap denyut itu dengan jujur. Melalui karya-karya yang dipamerkan, publik diajak membaca fenomena, mencari makna, dan merayakan keberagaman imajinasi yang menjadi wajah seni rupa Lampung di era digital.
Di tengah derasnya arus informasi, seni rupa tetap hadir sebagai medium kontemplasi: tempat kita berhenti sejenak, menimbang kembali siapa diri kita, apa yang kita jaga, dan kemana kita akan melangkah. Dan dalam pameran ini, dialektika itu hidup kembali—penuh warna, penuh suara, penuh kemungkinan. (*)




