Di sebuah bengkel yang berlabel Didik Jepara Variasi Carlight di sudut Semarang, gemerlap lampu kendaraan bukan sekadar aksesori—ia adalah simbol tekad, cermin dari semangat seorang lelaki yang memilih bangkit saat dunia seolah memintanya menyerah. Namanya Didik Sugiyanto. Seorang pengusaha, penyintas kecelakaan, dan di atas segalanya: inspirasi hidup.
Bengkel variasi ang berlokasi di Jalan Bendungan 108 Semarang ini merupakan bengkel kedua milik Didik Sugiyanto. Dia mengawali hidup merantau di Kota Semarang 15 tahun lalu. Begitu,Didik berujar, ketika menyampaikan samtan dalam acara Tasyakuran peresmian bengkelnya yang kedua. Didik mengaku tanpa dukungan kesetian istrinya Novita, dia tidak bisa berhasil seperti saat ini. Tentunya juga dukungan kedua orang tua dan mertuanya yangmendorong langkah suksesnya.
Didik tidak dilahirkan dengan keterbatasan. Ia pernah berlari, menjelajah hidup dengan langkah penuh percaya diri. Namun suatu hari, nasib membelokkan jalannya: sebuah kecelakaan motor membuatnya lumpuh, mengubah kehidupannya secara drastis. Ia harus menerima kenyataan, bahwa sejak itu, kursi roda menjadi bagian tak terpisahkan dari hidupnya.
Namun, inilah titik balik. Alih-alih larut dalam keterpurukan, Didik menolak dikasihani. Dengan tangan yang tetap kuat, ia mulai dari bawah. Ia menjual bensin eceran di pinggir jalan, beternak entok dan bebek, hingga membuat telur asin. Setiap usaha, sekecil apa pun, ia jalani dengan dedikasi. Bukan soal modal besar, tapi kemauan dan harga diri.
Hingga akhirnya, cahaya itu datang. Secercah mimpi yang diwujudkannya dalam bentuk bengkel variasi lampu mobil dan motor. Usaha ini bukan hanya berkembang, tapi juga menjadi ruang aktualisasi—bagi dirinya, dan bagi banyak penyandang disabilitas lainnya.
Mantan Ketua Komunitas Sahabat Difabel (KSD), Didik bukan hanya pengusaha. Ia adalah penggerak. Ia menyemangati, mendengarkan, dan mengajak para penyandang disabilitas untuk melihat keterbatasan bukan sebagai batas, tapi sebagai jendela baru. Ia hadir di tengah komunitasnya bukan sebagai pahlawan, tapi sebagai saudara seperjuangan.
“Jangan pernah menyerah. Selalu sertakan doa dalam setiap usaha. Dan jangan lupa bersyukur,” begitu pesan yang kerap ia sampaikan. Kalimat sederhana yang lahir dari pengalaman panjang bertahan, dari luka yang dijahit dengan harapan.
Kini, bengkel Didik tak hanya menyala oleh lampu-lampu yang ia pasang. Tapi oleh cahaya batin yang ia tularkan: bahwa hidup memang tak selalu mudah, tapi selalu bisa diperjuangkan. Di antara deru mesin dan terang lampu variasi, suara Didik menggema—pelan namun pasti—mengajarkan bahwa dari kursi roda pun, seseorang bisa mengubah dunia. (Christian Saputro)




