Bandar Lampung — Suasana Gedung Olah Seni Taman Budaya Lampung (TBL), Jl. Cut Nyak Dien No. 24, Palapa, Tanjungkarang Pusat, Rabu (22/10/2025) terasa berbeda. Ruang yang biasanya digunakan untuk pertunjukan seni kali ini menjadi arena pemikiran dan refleksi sejarah dalam Diskusi Buku Toponimi, salah satu agenda penting dalam rangkaian Pekan Kebudayaan Daerah (PKD) IV Provinsi Lampung 2025.
Kegiatan ini menyoroti dua karya monumental: “Toponimi Sumatra Bagian Selatan” dan “Toponimi Bandarlampung”, yang sama-sama menggali jejak sejarah dan identitas wilayah melalui penelusuran asal-usul penamaan tempat.
Diskusi menghadirkan dua penulisnya, Anshori Djausal, Ketua Akademi Lampung, dan Iwan Nurdaya-Djafar, Sekretaris Akademi Lampung, serta dipandu oleh Dr. Khaidarmansyah dari IIB Darmajaya. Turut hadir pula jurnalis dan penulis Maspriel Aries, yang memberikan pandangan kritis terhadap pentingnya kajian toponimi di era modern.
Anshori menjelaskan bahwa bukunya, “Toponimi Sumatra Bagian Selatan (Berdasarkan Peta Kurun Waktu 1920–1940)”, merupakan hasil penelitian selama hampir satu dekade. Buku setebal lebih dari 330 halaman ini memuat sekitar 3.560 nama tempat, mulai dari umbul, kampung, bukit, gunung, hingga sungai, yang semuanya merekam hubungan erat antara penamaan tempat, budaya lokal, dan dinamika sosial masyarakat masa lalu.
“Toponimi tidak sekadar nama di peta, melainkan identitas dan memori kolektif masyarakat,” ujar Anshori.
Sementara itu, Iwan Nurdaya-Djafar memaparkan bukunya “Toponimi Bandarlampung”, yang mengulas lebih dari 300 halaman data tentang asal-usul nama-nama tempat di ibu kota Lampung. Dari nama kelurahan hingga rumah sakit dan pasar, buku ini menelusuri kisah di balik nama yang sering luput dari perhatian warga kota.
“Setiap nama tempat adalah potongan sejarah. Melalui toponimi, kita dapat membaca perjalanan kota ini dari masa ke masa,” tutur Iwan, yang juga baru-baru ini mendapat penghargaan dari Badan Bahasa atas kiprahnya di dunia sastra lebih dari 40 tahun.
Maspriel Aries menegaskan bahwa kajian toponimi memiliki manfaat praktis bagi tata ruang kota, penyusunan peta, dan bahkan mitigasi bencana. “Tanpa nama yang bermakna, peta menjadi ‘peta buta’. Buku-buku ini memberi arah dan makna bagi wilayah, sekaligus menjaga warisan bahasa lokal,” ujarnya.
Diskusi pun menghasilkan rekomendasi menarik: kegiatan lanjutan berupa penanaman pohon yang namanya digunakan pada banyak toponimi di Bandarlampung, bekerja sama dengan Taman Estetika Kebun Raya Institut Teknologi Sumatra (Itera). Langkah ini menjadi simbol keterikatan antara alam, sejarah, dan kebudayaan lokal.
Dengan semangat kebudayaan yang hidup dan reflektif, PKD IV 2025 membuktikan bahwa sejarah bukan hanya untuk dikenang, tetapi juga untuk dijaga dan dihidupkan kembali melalui pengetahuan dan tindakan nyata. (Christian Saputro)


