Oleh : Christian Heru Cahyo Saputro, Jurnalis, penjalin kata-kata membukukan kisah, tinggal di Tembang Semarang.
Semarang, 26 Juli 2025 — Sore itu, Boen Hian Tong tak lagi sekadar sebuah gedung tua berarsitektur klasik di Jl. Gang Pinggir 31. Ia menjelma menjadi ruang jiwa, tempat di mana doa bersandar dan duka berpulang. Dari setiap celah kayu tua yang menghitam oleh waktu, tercium aroma dupa yang menenangkan—seolah langit sendiri turun perlahan untuk mendengar bisikan manusia yang mencoba memaafkan dunia yang terlalu kejam pada anak-anaknya.
Ritual Peletakan Sinci Anak-Anak Korban Kekerasan, Matahari merendah, mengendap di antara atap-atap kota tua. Di dalam altar, sinci mungil diletakkan dengan penuh hormat. Kristofel Butar Butar, anak lelaki dari Pekanbaru, dan Engeline Megawe, gadis kecil dari Bali. Mereka, yang semestinya masih bermain petak umpet dan menyusun mimpi, kini bersanding dengan Gus Dur, sang bapak pluralisme, dan Ita Martadinata, pejuang keadilan. Di altar itu, jiwa-jiwa tak sempat dewasa ini tak lagi sendiri.
Ritual dimulai dalam keheningan yang khusyuk. Wense Andy Gunawan, sang pemimpin doa, berdiri di depan altar dengan jubah sederhana, mengangkat kedua tangan. Ia tidak hanya membacakan doa, tetapi menyulam luka menjadi harapan. Dupa mengepul perlahan, selembar demi selembar kertas doa terbakar—menjadi abu, lalu ditabur sebagai pesan kepada langit. “Doa ini,” bisiknya nyaris tak terdengar, “untuk mereka yang tidak sempat dewasa, tapi telah lebih dulu pergi.”
Altar didekorasi dengan penuh cinta. Bunga matahari—lambang kegembiraan yang pernah mereka pancarkan. Gula-gula dan mainan kecil, barang-barang remeh bagi orang dewasa, tapi begitu berarti bagi anak-anak. Gendering kecil diletakkan di sisi sinci, seolah memberi mereka panggung yang tak sempat mereka tapaki.
Tamu-tamu berdatangan dalam hening penuh hormat. Yoga Pangemanan, Ketua Kehormatan Boen Hian Tong; Andy Gouw Siswanto, Ketua Kehormatan ; Tony Harsono, tokoh lintas agama; rombongan dari Klenteng Gudo Jombang, dan Suyatmi Nengah dari Wanita Hindu Dharma Indonesia (WHDI) Kota Semarang. Masing-masing membawa bukan hanya doa, tapi juga tanggung jawab.
“Anak-anak adalah amanah. Kita tidak hanya mendoakan mereka yang telah tiada, tetapi juga menjaga mereka yang masih ada. Jangan sampai mereka menjadi korban orang tuanya sendiri,” ucap Suyatmi, lirih namun tegas, matanya berkaca-kaca.
Harjanto Halim, Ketua Boen Hian Tong, dalam pidatonya mengajak semua untuk menengok lebih dalam. Jangan sampai ada nama-nama lain menyusul, cukup dua anak ini yang jadi korban. “Kekerasan dalam rumah tangga bukanlah kesalahan yang lahir dari ruang hampa. Ia seringkali berakar dari trauma masa lalu. Karena itu, mari kita putus rantai itu,” katanya. Sebuah pesan yang terdengar seperti mantra penyembuh: bahwa luka tidak harus diwariskan.
Satu demi satu simbol diletakkan. Miniatur topi dan tusuk konde Guanli, upacara kedewasaan dalam budaya Tionghoa, kini menjadi simbol kehilangan—bagi mereka yang tak sempat tumbuh besar. Wense mengatupkan kedua tangan, memejamkan mata, dan berkata, “Senyuman mereka kini hanya tinggal kenangan. Tapi cinta kita akan menjaga mereka, dalam setiap dupa yang menyala.”
Doa Menjadi Pelukan untuk Jiwa Kecil yang Telah Pergi Ritual ditutup dengan pembacaan doa dan penghormatan terakhir. Tapi siapa yang bisa mengatakan akhir bagi sebuah doa? Karena dalam sunyi sore itu, Semarang tak hanya menangisi kehilangan, tetapi juga menyematkan janji. Bahwa cinta tak akan diam ketika anak-anak disakiti. Bahwa doa bukan sekadar kata, tapi tindakan, kesadaran, dan keberanian untuk bertindak lebih manusiawi.
“Kami percaya Tian senantiasa penilik, pembimbing dan penyerta kehidupan kami,” ucap Wense di akhir doa. Langit sudah mulai gelap, tapi altar tetap terang. Bukan oleh lampu, tapi oleh ketulusan.
Dan di altar itu, cinta kasih telah menjelma menjadi abadi. Dalam bentuk paling sederhana: sepotong papan kayu bertuliskan nama, sejumput dupa, setetes air mata, dan doa yang tak pernah usai. (*)