Semarang — Di selubung senja akhir Agustus, Semarang melepas letih dalam bingkai kreativitas dan refleksi lewat Dokumentaria “Tirakat” 2025, sebuah program Kolektif Hysteria yang digelar pada 30—31 Agustus. Ruang seni yang biasanya sunyi di balik studio dan layar kecil kini terbuka untuk publik; layar-layar dipasang, kursi diatur, dialog disuarakan, dan ide bergumul.
Film yang Membuka Mata
Pemutaran dokumenter menjadi jantung acara. Penonton disuguhi karya-karya yang bukan hanya menampilkan kisah, tetapi menggugat: musik rakyat di Solo Orgen, kehidupan pesisir yang terancam limbah, dan pulsasi ekologi yang mulai memekik dari bibir laut. Salah satu film, 240 BPM++ menampilkan musisi Solo Orgen yang terus berkarya walau tengah diterpa banyak halangan. Seperti kata Khalid, musisi yang muncul di layar: “Kalau nggak berani mencoba, kita nggak akan dapat keberuntungan.”
Seni, Diskusi, dan Aksi
Dokumentaria “Tirakat” 2025 adalah pengingat bahwa seni dan dokumenter memiliki kekuatan meretas senyapnya malam-lalu mengobarkan cahaya—cahaya yang menyala lewat gagasan, lewat cerita, lewat perjumpaan jiwa yang tak takut melihat kenyataan. Semarang, sesaat, berdiri sebagai kota yang membuka luka dan menyulam harapan.
Tirakat tak hanya soal menonton. Diskusi-diskusi dibuka lebar, dengan narasumber yang memetakan realitas sosial di balik dokumenter—misalnya bagaimana limbah industri mengubah ekosistem pesisir, atau bagaimana musik rakyat bisa tetap relevan di kota yang terus tumbuh. Terselip pula aksi-aksi seni: instalasi, lukisan live, dan performa yang menautkan pemutaran film dengan konteks keseharian masyarakat Semarang.
Arsip Kolektif dan Keabadian Ingatan
Dokumentaria “Tirakat” menegaskan bahwa film dokumenter bukan hanya hiburan atau karya seni; ia adalah arsip kolektif—memori warga, catatan sosial, dan peta sejarah yang sering terlupa. Di dalamnya, suara-suara yang biasanya terpinggirkan menemukan mikrofon. Kamera mencatat apa yang buku sejarah sering tak tuliskan; layar menyimpan sudut-sudut nyata kehidupan yang akan jadi bahan refleksi generasi mendatang.
Harapan yang Disulam
Di antara tepuk tangan setelah pemutaran terakhir, muncul harapan: bahwa dialog ini tidak berhenti ketika layar padam. Bahwa film-film ini tidak hanya diputar satu atau dua hari saja, tetapi menjadi bagian dari pendidikan budaya, kegiatan komunitas, dan kebijakan lokal. Bahwa Semarang, dengan semua hiruk-piknya, bisa tetap menjadi ruang bagi orang yang ingin melihat, mendengar, dan memahami .(Christian Saputro)
–




