Semarang – Di sebuah sudut kota yang sibuk, berdiri sebuah rumah belajar yang berbeda dari kebanyakan. EduHouse Semarang bukan sekadar tempat anak-anak duduk di balik meja, menyalin pelajaran, lalu mengejar nilai. Ia hadir sebagai ruang bernafas, taman tempat cahaya setiap anak dipelihara agar tetap menyala.
Di balik gagasannya, ada Linggayani Soentoro—seorang pendidik yang melihat anak bukan sebagai kertas kosong untuk ditulisi, melainkan sebagai benih dengan warna, musim, dan cahayanya sendiri.
“Kami percaya setiap anak lahir dengan cahayanya sendiri. Tugas kita adalah menjaganya, bukan menyamakan terang mereka dalam satu ukuran,” ucapnya dengan mata berbinar.
Di EduHouse, belajar tak pernah terasa kaku. Ada anak yang tertawa riang saat bercerita lewat boneka tangan, ada yang larut dalam coretan warna di atas kanvas, ada pula yang matanya berbinar ketika menemukan kupu-kupu di halaman sekolah. Semua adalah pelajaran, semua adalah cara untuk tumbuh. Kurikulumnya lentur, merangkul permainan, seni, kisah, dan alam—membiarkan anak menjelajah dunia dengan rasa ingin tahu yang alami.
Namun, EduHouse tidak berjalan sendiri. Orang tua dan komunitas adalah bagian dari perjalanan ini. Dalam kelas parenting, lingkar refleksi, hingga sesi literasi keluarga, mereka saling belajar, saling mendengarkan, dan saling menguatkan. Pendidikan di sini bukan dinding empat sisi, melainkan ekosistem yang hidup, di mana setiap suara—anak, orang tua, guru—memiliki ruang.
Empat hal menjadi nafas EduHouse: pengembangan karakter dan keberanian anak untuk berpikir kritis, pembelajaran yang berbasis minat dan kreativitas, keterlibatan keluarga dan lingkungan, serta pendampingan psikologis yang penuh kasih. Semua berpadu membentuk generasi yang bukan hanya cerdas, tapi juga berjiwa lembut dan tangguh menghadapi zaman.
“Anak-anak bukan pot tanah liat yang dibentuk dengan cetakan sama. Mereka taman yang harus dirawat sesuai musim dan benihnya masing-masing,” tutup Linggayani, senyumnya mengalir hangat seperti mata air.
EduHouse Semarang hadir sebagai pengingat di tengah derasnya arus pendidikan modern: bahwa mendidik bukan sekadar mengisi, melainkan menemani tumbuh; bukan membandingkan, melainkan merawat cahaya yang sudah ada. (Christian Saputro)