Semarang — Ajang Serikat Gigs Remaja Terpadu (SGRT) #4 x Guyub Rupa kembali menampilkan lanskap kreatif yang cair dan lintas medium. Musik, seni rupa, dan pendekatan eksperimental bertemu dalam satu ruang yang kolektif, hidup, dan terus bergerak. Dari sejumlah penampil yang hadir, salah satu yang paling mencuri perhatian ialah Aristya Kuver, musisi eksperimental yang menghadirkan permainan bunyi sebagai ruang pencarian, perenungan, sekaligus uji coba musikal yang berlangsung secara langsung di hadapan penonton.
Aristya sudah lama dikenal menempatkan eksperimen sebagai inti proses kreatifnya. Di panggung SGRT #4, ia kembali menegaskan bahwa musik eksperimental bukan sekadar permainan alat atau teknik, melainkan sebuah proses mendengarkan—pada ruang, pada diri sendiri, dan pada sesama musisi yang terlibat.
“Secara teknis musikku memang eksperimental, atau bisa disebut eksperimen tentang bunyi,” ujarnya. “Alat-alat yang kupakai juga alat eksperimen. Permainan itu terjadi ketika kami saling merespons, mendengarkan, lalu mencari: apa yang perlu dimainkan saat itu?”
Membangun Alat, Membangun Bahasa Bunyi
Aristya kerap membuat instrumen sendiri. Proses menciptakan alat musik menurutnya bukan sekadar praktik teknis, melainkan upaya membangun bahasa baru—bahasa bunyi yang tidak dibatasi oleh pakem musik konvensional. Di SGRT #4, pendekatan itu mengalir organik: ia membiarkan suasana ruang, dinamika audiens, dan atmosfer pameran seni rupa yang berlangsung paralel memengaruhi ritme permainannya.
Ruang kampus tempat acara digelar turut menjadi energi tersendiri. “Kampus itu ruang pembelajaran,” kata Aristya. “Ditambah kebetulan ada pameran seni rupa. Mahasiswa seni rupa itu selalu dekat dengan eksplorasi. Kami pun merespons karya-karya yang ada.”
Musik sebagai Ruang Pengolahan Emosi
Bagi Aristya, musik bukan hanya eksperimen bunyi, tetapi juga jalur untuk mengolah dan membaca emosi. Tekstur yang muncul—dari denting logam, gesekan material, hingga getaran samar—bukan hasil perencanaan kaku, melainkan respons langsung terhadap emosi yang hadir pada saat pertunjukan berlangsung.
“Bunyi itu ruang pencarian emosi,” ujarnya. “Saat eksperimen berjalan, muncul emosi tertentu karena kami bermain bersama. Kami mencari emosi apa yang muncul duluan. Itu respons pertama, lalu diolah dengan alat yang kami punya.”
Dinamika tersebut terasa jelas di hadapan penonton. Perubahan tempo dan intensitas yang tiba-tiba, warna bunyi yang bergeser tanpa pola, hingga harmoni yang muncul dari ketidakteraturan menciptakan perjalanan mendengar yang sulit ditebak namun tetap memiliki kedalaman emosional.
Eksplorasi sebagai Keniscayaan
Dalam musik eksperimental, eksplorasi adalah hal lumrah. Namun bagi Aristya, eksplorasi bukan sekadar pilihan artistik, melainkan sesuatu yang tidak terhindarkan.
“Eksplorasi itu keniscayaan,” tegasnya. “Eksperimen sangat dekat dengan eksplorasi, karena eksplorasi memberi keleluasaan kreativitas. Bunyi itu tidak terbatas. Musik adalah bahasa yang tidak punya batas.”
Prinsip itu membuat Aristya tidak pernah menampilkan komposisi yang sama dua kali. Setiap pentas adalah peristiwa tunggal—terikat pada ruang, waktu, audiens, serta alat yang ia ciptakan dan bawa. Di SGRT #4, penonton dapat merasakan bagaimana ia merespons ruang pamer seni rupa dan interaksi langsung dengan pengunjung, termasuk mahasiswa yang sebagian besar baru pertama kali menyaksikan musik eksperimental.
Diskusi-diskusi panjang selepas pertunjukan menjadi bukti bahwa pengalaman mendengar bunyi nonkonvensional ini membuka rasa ingin tahu baru bagi banyak orang.
Laboratorium Terbuka di Tengah Pameran
Penampilan Aristya Kuver bukan hanya pertunjukan musik, tetapi sebuah laboratorium terbuka. Tidak ada komposisi baku, tidak ada struktur wajib. Yang ada justru keterbukaan terhadap kemungkinan dan ketidakpastian. Dengan membiarkan bunyi bekerja sebagai bahasa bebas, Aristya menghadirkan pengalaman mendengar yang membuat audiens tidak hanya menyimak, tetapi juga ikut merasakan proses kreatif yang sedang berlangsung.
SGRT #4 x Guyub Rupa kembali menegaskan bahwa seni tidak harus selalu hadir dalam bentuk yang mudah ditebak. Terkadang, ketidakpastian justru menghadirkan percakapan dan perenungan paling bermakna—baik bagi penampil maupun penonton yang hadir. (Christian Saputro/ril)




