Oleh: Christian Heru Cahyo Saputro, Jurnalis Penyuka Seni Rupa Tinggal di Semarang
Di antara deretan payung yang terbuka dalam gelaran Fespin XII Road to Bosang Festival, mata tiba-tiba tertumbuk pada satu karya yang tak biasa. Sebuah payung, medium sederhana yang sehari-hari melindungi manusia dari hujan dan terik, kini menjelma kanvas besar yang memuat kisah cinta, doa, dan kritik sosial. Itulah karya kolaboratif Adhik Kristiantoro, seniman Yogyakarta dengan energi urban kontemporer, bersama Ibanez Raihana, yang dikenal dengan goresan hitam-putih rumit, padat simbol, karakter, dan tipografi. Mereka menamainya “ENTHIT.”
Kisah Cinta yang Menjelma Doa
“ENTHIT” adalah cerita yang berangkat dari sesuatu yang sederhana: dua pasang manusia yang sedang gandrung. Mereka jatuh cinta, merindu, dan berupaya sekuat tenaga untuk mendapatkan kekasih idaman. Segala yang dimiliki, bahkan dirinya sendiri, siap mereka berikan demi cinta. Harapannya tak hanya berakhir pada pertemuan dua hati, tetapi juga tumbuhnya keluarga yang subur, banyak anak, banyak rezeki—sebagaimana ujaran Jawa lama: “akeh anak, akeh rejeki.”
Kisah ini bukan sekadar romansa, melainkan doa yang dituangkan di atas payung. Setiap garis adalah harapan, setiap deformasi tubuh manusia menjadi wayang imajinatif adalah tafsir simbolik tentang cinta yang meluas ke dalam kehidupan sosial.
Filosofi Jawa dalam Goresan Hitam-Putih
Di antara figur-figur stilisasi itu, tulisan besar “Gemah Ripah Loh Jinawi” mencuat. Ungkapan klasik Jawa ini adalah harapan akan tanah yang subur, kehidupan yang makmur, dan masyarakat yang guyub rukun. Kata-kata itu, bila dilihat sekilas, hanyalah tipografi dekoratif.
Namun bagi mata yang lebih peka, ia adalah doa visual, sebuah mantra yang diulang-ulang agar membumi.
Ibanez dengan goresan khasnya menyelipkan pula kata-kata lain: peace, luwes rukun, bakti. Pesan moral yang sederhana, namun terasa penting di tengah zaman yang riuh.
Wajah-Wajah Wayang Urban
Figur-figur dalam “ENTHIT” bukanlah tokoh wayang klasik yang kaku. Mereka adalah wayang urban—wajah-wajah manusia kota yang marah, tertawa, bingung, bahkan terheran-heran. Semrawut, namun penuh ekspresi. Melalui karakter-karakter inilah Adhik kerap menyampaikan kritik sosial: masyarakat kita selalu riuh, sering kacau, namun di baliknya tersimpan irama keteraturan yang tak kasatmata.
Dekonstruksi yang Penuh Orde
Sekilas, “ENTHIT” tampak padat, bahkan berlebihan. Garis demi garis saling tumpang tindih, simbol demi simbol berebut ruang. Namun bila diperhatikan lebih lama, ada harmoni yang samar.
Seperti musik gamelan yang semula terdengar bising namun sebenarnya menyimpan irama kosmik, karya ini menyuguhkan pandangan hidup Jawa: bahwa dalam kekacauan pun selalu ada makna.
Antara Tradisi dan Urbanitas
Kolaborasi Adhik dan Ibanez ini menjadi semacam manifesto visual. Mereka meramu filosofi Jawa, keresahan sosial kontemporer, dan gaya urban yang dekonstruktif dalam satu payung. Medium yang sehari-hari akrab di pasar tradisional atau halaman rumah, kini diangkat menjadi panggung besar bagi cerita cinta, doa kesejahteraan, hingga kritik zaman.
“ENTHIT” bukan hanya karya seni rupa; ia adalah percakapan. Percakapan antara masa lalu dan masa kini, antara filosofi tradisi dan gaya hidup urban, antara keresahan sosial dan doa akan kesejahteraan.
Epilog
Di bawah payung itu, kita seperti diajak bercermin. Hidup memang ramai, penuh suara dan pertentangan, namun tetap ada cinta yang menjadi pusatnya. “ENTHIT” mengingatkan bahwa dalam segala riuhnya dunia, manusia tetap mencari satu hal yang paling sederhana: cinta, kerukunan, dan hidup yang gemah ripah loh jinawi. (*)




