Oleh Christian Heru Cahyo Saputro
Semarang – Dua perupa sketsa kawakan Semarang, Agung Dwie dan Donny Hendro Wibowo, kembali menyapa publik pecinta seni lewat pameran bertajuk “Semarang, Dulu, Kini, dan Esok”. Pameran ini digelar di Alliance Française Semarang, kawasan Candisari, mulai Kamis, 25 September 2025 hingga 4 Oktober 2025.
Pameran ini menjadi ruang kontemplatif yang merekam denyut Semarang dari berbagai dimensi waktu—masa lalu, masa kini, dan kemungkinan masa depan. Sketsa-sketsa yang ditampilkan tidak hanya memikat secara visual, tetapi juga mengandung narasi kota yang kaya akan jejak sejarah, transformasi sosial, dan cita-cita urban ke depan.
“Melalui sketsa, kami ingin mengajak masyarakat berhenti sejenak, memandang kota ini bukan sekadar tempat tinggal, tapi ruang hidup yang terus tumbuh,” ujar Agung Dwie, yang dikenal aktif mengarsipkan sudut-sudut kota lewat sketsa on-the-spot.
Donny Hendro Wibowo, rekannya dalam pameran ini, menambahkan bahwa karya-karya yang ditampilkan juga menjadi jendela batin tentang bagaimana seniman merespons perubahan ruang dan waktu. “Kami menggambarkan Semarang tak hanya sebagai lanskap, tapi juga sebagai ruang dialog antara memori dan harapan,” ucapnya.
Pameran ini dibuka secara resmi oleh Duta Besar Perancis untuk Indonesia, Fabien Penone, dan orang-orang Prancis di Jateng. Kehadiran tokoh-tokoh penting ini menunjukkan kuatnya relasi budaya antara Indonesia dan Perancis, sekaligus komitmen bersama dalam merawat identitas kota melalui seni.
Alliance Française Semarang sendiri menyambut antusias kolaborasi ini. “Ini bukan sekadar pameran seni rupa, tapi bentuk diplomasi kultural yang merangkul sejarah, urbanisme, dan seni kontemporer,” ujar Kiki Martaty, Direktur AF Semarang.
Pameran “Semarang, Dulu, Kini, dan Esok” terbuka untuk umum, tanpa tiket masuk. Selain menikmati karya-karya sketsa, pengunjung juga dapat mengikuti sesi diskusi dan artist talk yang akan digelar selama masa pameran.
Melalui pameran ini, Duo Sketchers Semarang membuktikan bahwa kertas, pena, dan imajinasi mampu menjadi medium untuk membangun kesadaran dan cinta pada kota. Sebuah undangan visual untuk tidak melupakan dari mana kita berasal, di mana kita berpijak, dan ke mana kita bermimpi. (*)




