Semarang — Suasana hangat penuh makna menyelimuti RW 03 Ngemplak Simongan, Semarang Barat, Sabtu (21/9), saat warga setempat merayakan Festival Jatiwayang VI. Dalam gelaran tahunan ini, ratusan warga berkumpul untuk menyatukan langkah, merawat warisan budaya, dan menanam harapan baru di tengah arus modernitas yang deras.
Mengusung tema “Tetandur*—yang berarti *menanam hal-hal baikj—festival ini menjadi simbol gerakan kolektif untuk menyemai nilai-nilai kebaikan dalam kehidupan sosial, budaya, dan spiritual masyarakat.
Dibuka dengan Prosesi Penyiraman
Festival dibuka dengan prosesi penyiraman bagi para pemangku wilayah RW 03, sebuah ritual ruwatan yang sarat makna simbolis: membersihkan jiwa dan raga serta wilayah dari hal-hal buruk. Dalam tradisi Jawa, penyiraman ini diyakini sebagai bentuk permohonan keselamatan dan pembuka jalan bagi masa depan yang lebih baik.
Anak-Anak Pentas, Budaya Terus Hidup Tak hanya orang dewasa, anak-anak dari RT 01 hingga RT 09 turut memeriahkan acara lewat pentas seni. Tarian, nyanyian, hingga drama tradisi ditampilkan dengan penuh semangat. “Ini bentuk syukur kami kepada Tuhan, sekaligus upaya menanamkan kebanggaan terhadap budaya sejak dini,” ujar salah satu orang tua peserta.
Dukungan Pemerintah dan Kolektif Hysteria*l
Festival ini mendapat apresiasi langsung dari Wali Kota Semarang, *Dr. Agustina Wilujeng Pramestuti, yang hadir bersama Camat Semarang Barat, *Elly Asmara. “Kampung Jatiwayang bisa jadi contoh bagaimana budaya dan gotong royong menjadi kekuatan warga,” kata Wali Kota dalam sambutannya.
Tak hanya dari pemerintah, Kolektif Hysteria juga terlibat aktif dalam festival ini. Radit Bayu Anggoro dari Hysteria menuturkan bahwa kerja bersama warga untuk mengangkat sejarah dan identitas lokal menjadi inti dari kerja budaya. “Tema ‘Tetandur’ kami pilih untuk menumbuhkan harapan bersama,” ungkap Radit.
Lebih dari Sekadar Festival
Festival Jatiwayang bukan sekadar pesta tahunan. Selama
enam tahun berturut-turut, ia hadir sebagai ruang ruwatan ingatan, upaya merawat jejak leluhur, dan wadah bagi warga untuk saling menguatkan. Di tengah tantangan zaman, Jatiwayang membuktikan bahwa akar budaya yang kuat bisa jadi penopang masa depan.
“Festival ini bukan hanya tentang hiburan, tapi tentang jati diri. Ini cara kami merawat warisan, menyemai nilai, dan menyalakan harapan,” ujar seorang tokoh masyarakat.
Jatiwayang telah ‘tetandur’—dan dari tanah ingatan itu, harapan tumbuh subur. (Christian Saputro,