Oleh: Christian Heru Cahyo Saputro – Redaktur Budaya SKH Sumatera Post
Semarang, 25 September 2025 – Siang itu, semilir angin dari perbukitan Candisari mengelus lembut dedaunan flamboyan yang tumbuh di halaman. Di dalam sebuah gedung bercat putih dengan jendela-jendela tinggi bergaya kolonial, sebuah momentum kultural tercipta. Duta Besar Prancis untuk Indonesia, Fabien Penone, hadir untuk meresmikan labelisasi Alliance Française (AF) Semarang—sebuah pengakuan resmi yang menjadikan lembaga ini bagian dari jaringan global promosi bahasa dan budaya Prancis.Pada kesempatan itu jug hadir Kepala Dinas Budaya dan Pariwisata Kota Semarang Wing Wiyarso Poespo Joedho, para kolaborator dan tamu undangan lainnya.
Dengan membunyikan lonceng kecil berwarna emas, Penone seakan menggetarkan dinding-dinding ruangan dengan gema baru persahabatan. “Alliance Française bukan hanya tempat belajar bahasa, tetapi ruang bertumbuhnya dialog dan rasa antarbudaya,” ucapnya, disambut tepuk tangan hadirin yang memenuhi aula.
Jejak Lama, Napas Baru
Bagi warga Semarang, kehadiran AF bukanlah hal asing. Lembaga ini sudah lama menjadi ruang perjumpaan lintas bangsa—tempat generasi muda mempelajari bahasa Prancis, sekaligus pintu menuju dunia lain yang jauh di seberang lautan. Banyak kisah lahir dari bangku kelasnya: mahasiswa yang kemudian melanjutkan studi di Paris, seniman yang menemukan inspirasi baru lewat pertukaran budaya, hingga anak-anak sekolah menengah yang sekadar jatuh cinta pada bunyi lembut bahasa la langue française.
Labelisasi tahun ini seakan menghidupkan kembali napas baru: sebuah pengakuan internasional yang tak hanya menambah wibawa, tetapi juga mengukuhkan peran Semarang sebagai simpul penting diplomasi budaya.
Sketsa Kota: Ingatan yang Dihidupkan
Usai peresmian, hadirin diajak memasuki ruang pameran. Di dinding-dindingnya terpajang karya Duo Sketchers: Agung Dwie dan Donny Hendro Wibowo. Melalui garis-garis tinta dan arsiran pensil, mereka menuturkan kisah Semarang dalam tiga babak: dulu, kini, dan esok.
Ada Pasar Johar yang ramai dengan aroma rempah dan teriakan pedagang. Ada Lawang Sewu yang tetap tegak meski diselimuti nostalgia kolonial. Ada pula bentangan kota modern yang perlahan merambah langit. Sketsa-sketsa itu tak hanya memotret ruang, tapi juga merekam perasaan—seperti kerinduan yang terselip dalam catatan harian.
“Melihat kota lewat sketsa itu berbeda dengan foto. Ada waktu, ada rasa, ada imajinasi yang ikut masuk,” tutur Dony H Wibowo.
Dubes Penone tampak mengangguk, lalu berkata lirih, “Kota yang dipahami dengan mata hati adalah kota yang akan bertahan dalam sejarah manusia.”
Diplomasi yang Mengalun Lembut
Tak lama, ruangan kembali sunyi. Seorang gadis kecil yang cantik Katelyn Janette Agussoekito duduk di depan harpa, jemarinya meniti senar-senar dengan hati-hati. Nada-nada yang lahir bukan sekadar musik, melainkan jembatan tak kasat mata: menghubungkan bahasa dengan rasa, peresmian formal dengan keintiman perjumpaan.
Suara dari Rumah Kecil di Candisari
Kiki Martaty W, Direktur AF Semarang, menyambut labelisasi ini dengan senyum yang penuh arti. “Pengakuan ini bukan titik akhir, melainkan awal dari tanggung jawab lebih besar. Kami ingin menjadikan AF Semarang bukan hanya tempat belajar, tetapi rumah bagi pertukaran pemikiran, ekspresi artistik, dan persahabatan lintas bangsa,” katanya.
Seorang mahasiswa yang sudah dua tahun belajar di AF ikut menambahkan. “Belajar bahasa di sini bukan hanya soal tata bahasa. Kami belajar tentang film Prancis, puisi, juga bagaimana orang Prancis memandang dunia. Itu membuat saya merasa lebih dekat dengan mereka, meskipun belum pernah ke sana.”
Cahaya yang Tak Pernah Padam
Labelisasi Alliance Française Semarang oleh Dubes Fabien Penone bukan sekadar acara seremonial. Ia adalah penanda arah: bahwa budaya bukan hanya warisan, melainkan jalan masa depan.
Lewat bahasa yang dipelajari, sketsa yang dipamerkan, dan musik yang dialunkan, Semarang dan Paris saling menyapa. Perjumpaan itu mungkin tampak sederhana, namun justru di situlah letak kekuatannya—karena dalam dunia yang terus berubah, cahaya antarbudaya adalah cahaya yang tak pernah padam. Dan hari itu, di sebuah rumah kecil di Candisari, cahaya itu bersinar terang.(*)