Frankfurt, 20 September 2025. Kota yang diselimuti langit kelabu musim gugur itu mendadak bergetar oleh sesuatu yang datang dari jauh: dari Semarang, dari Indonesia, dari rahim seorang penyair yang memilih jalan sunyi. Triyanto Triwikromo, dengan langkah perlahan namun tegas, membawa kata-kata ke panggung yang tidak sekadar menjadi ruang pertunjukan, tetapi juga altar ingatan kolektif: “Seperti Gerimis Merah di Auschwitz.”
Di dalamnya, sastra tidak berdiri sendiri. Ia melebur dengan musik, lukisan, dan video seni. Lukisan-lukisan emosional karya Handoyo Salafi menjelma latar yang bergolak, sementara alunan Dona, Dona dan Imagine dari Diksi merayap di udara, menggantungkan perasaan antara kepedihan dan harapan.

Dari layar, karya visual Bilawa Respati menegaskan absurditas sejarah, sementara di panggung, Triyanto bersama penerjemah Gudrun Fenna Ingratubun melantunkan kata dalam bahasa Indonesia dan Jerman, membelah ruang antara dua budaya, dua luka, dua zaman.
Namun, jalan menuju panggung ini tidaklah mulus. Pertunjukan sempat dibayang-bayangi sensor, bahkan hampir dilarang. Ironis, tapi sekaligus bukti bahwa kata-kata masih punya daya untuk menimbulkan kegelisahan—bahkan di Eropa, yang katanya sudah kebal pada trauma masa lalu. Dan ketika akhirnya “Gerimis Merah” tetap dipentaskan, ia terasa seperti kemenangan kecil bagi kebebasan berekspresi, kemenangan bagi suara yang tak rela dipadamkan.
Triyanto hadir bukan semata membawa namanya sendiri. Ia membawa serpihan luka kolektif bangsanya, sekaligus kegelisahan universal tentang kekuasaan, kekerasan, dan kemanusiaan. Auschwitz bukan sekadar monumen sejarah di tangannya, melainkan cermin yang memantulkan kegetiran manusia di manapun berada. Ia menulis bukan untuk memuja keindahan belaka, melainkan untuk mengingatkan—bahwa keindahan sejati selalu lahir dari keberanian melawan kelupaan.
“Gerimis Merah” di Frankfurt mungkin hanyalah setitik peristiwa. Tapi dari titik itulah, kesadaran bisa tumbuh. Dari langkah sunyi Triyanto, jejak baru bagi sastra Indonesia di dunia internasional mulai tercatat. Dan mungkin, suatu saat nanti, gerimis ini akan menjadi hujan yang lebih deras—membasuh dunia yang semakin gaduh dan tumpul dengan suara yang sederhana: suara sastra. (Christian Saputro)