Oleh Chiristian Heru Cahyo Saputro, Jurnalis Penyuka seni tradisi tinggal di Tembalang Semarang
Minggu sore, 14 September 2025, jalan Sayangan di jantung Kota Lama Semarang belum sepenuhnya padat. Tapi aroma perayaan telah terasa. Sinar matahari condong ke barat, menaburkan cahaya hangat di sela-sela bangunan kolonial yang bisu oleh waktu. Lalu tiba-tiba, jalanan yang biasa menjadi ruang lalu-lalang itu berubah menjadi panggung. Puluhan orang dari berbagai lapisan masyarakat muncul, bergerak dalam satu irama. Mereka tak sedang demonstrasi, bukan pula parade. Mereka sedang gugur gunung—bukan dalam bentuk kerja fisik, melainkan dalam wujud artistik: flashmob tembang “Gugur Gunung”.
Tembang Jadi Tubuh, Tubuh Jadi Seruan
Tembang karangan maestro Ki Narto Sabdo itu menggema dari pengeras suara, memandu tiap gerakan para penari yang terdiri dari pelajar, seniman, pedagang, ibu rumah tangga, pemuda komunitas, bahkan petugas kebersihan kota. Mereka bergerak dalam kesederhanaan yang khidmat. Tidak rumit. Tidak teatrikal. Tapi sarat pesan: “Ayo bareng-bareng mbangun urip, mbangun bebrayan.”
Apa yang mereka bangun? Bukan gedung, bukan jalan tol. Tapi watak dan budi pekerti. Di sinilah tembang “Gugur Gunung” menjadi lebih dari nyanyian nostalgia—ia menjelma sebagai wejangan hidup.
Membongkar Ego, Mendirikan Solidaritas
Tembang ini, seperti tubuh-tubuh yang menari sore itu, menegaskan bahwa pembangunan bukanlah hasil satu tokoh, bukan pula kemegahan individu. “Gugur Gunung” adalah sindiran halus terhadap egoisme dan elitisme, dan sekaligus pujian terhadap kekuatan gotong royong.
Saat anak dan ibu menari berdampingan, saat mahasiswa dan tukang parkir bergerak selaras, Kota Lama menjadi panggung di mana kelas sosial runtuh dan kolektivitas jadi aktor utama.
Tradisi dalam Wajah Masa Kini
Flashmob ini bukan sekadar pertunjukan. Ia adalah tubuh kolektif yang menyampaikan ingatan budaya dalam bahasa gerak. Di tengah dunia yang makin individualistik, para penari ini mengajak kita kembali pada akar: bahwa hidup tidak dijalani sendiri. Bahwa membangun tidak harus berarti merusak, tapi bisa dilakukan dengan menyatu bersama alam dan masyarakat.
“Gugur Gunung” menjadi bentuk konservasi—bukan hanya budaya, tapi juga nilai-nilai yang mendasari harmoni hidup: rukun, sumeleh, gotong royong.
Sederhana, Tapi Menggetarkan
Saat flashmob usai, penonton yang awalnya hanya singgah, perlahan merapat. Beberapa bertepuk tangan, yang lain terdiam—mungkin sedang mengingat, atau merasa disentil. Inilah kekuatan sejati dari pertunjukan itu: ia tidak berteriak, tapi menembus diam.
Ki Narto Sabdo lewat “Gugur Gunung” telah menanamkan filosofi hidup Jawa dalam tembang. Dan sore itu, di Kota Lama Semarang, filosofi itu hidup kembali dalam tubuh-tubuh yang bergerak. Bukan demi kemewahan panggung, tapi demi mengingatkan kita bahwa membangun dunia yang lebih baik harus dimulai dari rasa saling peduli.
Dan siapa tahu—mungkin di antara langkah-langkah tari itu, ada satu langkah kecil yang akan mengubah arah hidup seseorang.Karena sejatinya, gugur gunung bukan sesuatu yang asing suah ada sejak nenek moyang kita ajaran bergotong-royong. (*)




