Jepara – Di tengah aroma laut dan semilir angin pesisir Jepara, tersembunyi sebuah jejak rasa yang nyaris dilupakan oleh zaman: horog-horog. Makanan sederhana yang lahir dari ketekunan, dari tanah yang keras saat paceklik, dan dari tangan-tangan ibu yang tak pernah berhenti meramu harapan dalam wujud pangan.
Horog-horog bukan sekadar makanan. Ia adalah butiran kenyal berwarna pucat yang menyimpan narasi panjang tentang daya tahan sebuah bangsa kecil terhadap krisis besar. Pada masa penjajahan Jepang, kala nasi menjadi barang langka dan lapar mengetuk setiap rumah, masyarakat Jepara tak menyerah. Mereka menoleh pada alam, dan menemukan pohon aren sebagai penyelamat. Tepung aren diolah dengan sabar—disangrai, dikukus, ditabur sedikit rasa dari santan dan gula. Jadilah horog-horog: si kecil yang menyelamatkan banyak perut dari kehampaan.
Teksturnya kenyal, seperti kenangan yang enggan luruh. Disajikan bersama pecel, gulai, bakso, bahkan sate, horog-horog seolah selalu tahu bagaimana cara berteman. Ia menyusup dengan lembut, tidak mendominasi, tapi menambahkan lapisan keunikan yang membuat setiap suapan terasa seperti pulang ke desa—ke masa ketika segalanya sederhana, namun cukup.
Kini, horog-horog bukan lagi sekadar pengganti nasi. Ia adalah simbol. Tentang bagaimana keterbatasan bisa menjelma menjadi budaya. Tentang bagaimana kuliner mampu menyimpan sejarah, identitas, dan ingatan kolektif.
Dan saat Anda berkunjung ke Jepara, cicipilah horog-horog. Biarkan butiran-butiran kecil itu meledak pelan di lidah, dan dengarkan cerita yang ia bisikkan: tentang masa lalu, tentang daya tahan, dan tentang cinta yang diracik dalam dapur-dapur penuh ketulusan. (Christian Saputro)




