Semarang – Lahan parkiran B6 Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Semarang (UNNES) disulap menjadi ruang alternatif yang hidup dan penuh warna melalui program Purwarupa Ruang Alternatif, DITAMPART: Meruang.
Program hasil kolaborasi Peka Kota, Kolektif Hysteria, dan mahasiswa Seni Rupa UNNES ini digelar Sabtu (21/06/2025) menghadirkan suasana ruang terbuka yang inklusif, menjadi wadah ekspresi lintas medium dan gagasan.
Hari pertama Ruang Alternatif: Meruang dibuka dengan pameran seni visual terbuka yang memanfaatkan area parkiran. Ditampilkan karya-karya lukisan mahasiswa Seni Rupa serta arsip Hysteria berupa buku dan merchandise. Tak hanya itu, tersedia pula tenant-tenant yang menawarkan kudapan serta pop market khas Gen Z seperti temporary tattoo dari Gantung Diri, Sketch Booth, hingga konsultasi oleh mahasiswa Arsitektur. Pameran ini bukan sekadar memajang karya, tetapi menjadi ruang dialog langsung antara siapa pun yang hadir dan ruang itu sendiri.
Topik Meruang dibahas dalam sesi diseminasi oleh peserta Peka Kota 2025, Dyas Afyantoro dan Imammul Muqorobin. “Meruang” dipilih untuk mempertanyakan kembali relasi seni, budaya, sosial, dan tata kelola ruang, khususnya ruang-ruang di kampus dan kota yang selama ini dianggap hanya memiliki fungsi formal. Program ini ingin membuka ruang alternatif bagi aktivitas seni budaya di tengah keterbatasan ruang publik akibat regulasi modern, dengan semangat membebaskan ruang dari dominasi kelompok borjuis dan mengembalikannya kepada masyarakat. Inisiatif ini juga merupakan kelanjutan dari pengalaman Kolektif Hysteria melalui program Grobak Bioskop yang membawa tontonan film ke ruang-ruang publik di desa dan kampung.
Dyas, mahasiswa Arsitektur Universitas PGRI Semarang (UPGRIS), memulainya dengan pertanyaan pemantik, “Apakah ruang publik itu memang untuk publik?” Di mana akses terhadap ruang publik dirasa sulit dijangkau oleh masyarakat biasa. Padahal, ruang publik secara gamblang dimaknai sebagai ruang inklusif yang bisa diakses siapa pun, kapan pun, dan untuk dimanfaatkan demi kepentingan publik apapun itu. Namun, berkaca pada fenomena nyata di Kota Semarang sendiri, terbatasnya ruang yang bisa diolah maupun dimanfaatkan oleh masyarakat atau mahasiswa sepertinya. Adanya angka-angka yang muncul saat bertanya akan kesediaan tempat untuk sekadar bertemu, berdiskusi, berbagi ide.
Dari keresahan itulah muncullah ruang alternatif ini, yang diharapkan bisa membuka pandangan khalayak umum terkait ruang-ruang yang bisa saja dimanfaatkan menjadi ruang temu maupun ruang bertukar pikir tanpa adanya batas-batas kebijakan alot atau birokrasi yang sulit ditembus dalam waktu singkat.
Imam memberikan contoh ruang alternatif yang pernah digagas oleh Hysteria sebelumnya. DITAMPART adalah sebuah metode, support system, sekaligus platform inisiasi Kolektif Hysteria yang bertujuan menciptakan dan mengaktivasi ruang-ruang alternatif untuk seni dan budaya.
Secara fisik, DITAMPART berbentuk motor roda tiga yang dimodifikasi menjadi panggung berukuran 6×10 meter, yang bisa difungsikan sebagai ruang pamer dan pertunjukan keliling. Program ini berangkat dari pengalaman Hysteria sejak 2007 lewat program Serikat Menonton dan Grobak Bioskop, yang memutar film di berbagai ruang nonkonvensional. Sejak 2017, DITAMPART hadir sebagai bentuk evolusi dari Grobak Bioskop, dan terus dikembangkan hingga kini dengan instalasi terbaru yang mulai dibawa tur ke 17 kota/kabupaten di Jawa Tengah pada 2024.
Hysteria mengembangkan pendekatan place-making dengan DITAMPART yang tak hanya menghadirkan hiburan dan edukasi di luar ruang formal, tetapi juga membentuk persepsi baru tentang ruang, bahwa ruang bisa diciptakan dan dimanfaatkan di mana saja, tanpa batasan fungsi formal, sekaligus membangun ekosistem seni yang lebih inklusif dan responsif terhadap isu sosial budaya.
Sebagai tambahan, Nella, Head Project Peka Kota, menegaskan bahwa praktik Hysteria, termasuk DITAMPART, bersifat adaptif dan berbasis kapasitas. Ia lahir dari kebutuhan memberi ruang bagi beragam ego dan ketertarikan di dalam kolektif. Alih-alih memaksakan diri menyesuaikan regulasi ruang kota yang kaku, Hysteria memilih membuat versi ruang alternatifnya sendiri sebagai bentuk counter atas keterbatasan ruang dan refleksi atas perjalanan kolektif selama 20 tahun di Semarang.
Seorang partisipan bernama Aan, mahasiswa Arsitektur, menilai bahwa ruang alternatif penting di tengah birokrasi transaksional dan ketimpangan akses ruang. Ia menekankan perlunya komitmen bersama dan peran kolektif untuk menjaga idealisme dan menciptakan ruang versi sendiri di luar kepentingan industri. Sesi diskusi dalam diseminasi ini ditutup oleh pendapat Radit yang memantik soal ego. Menurutnya, “Persoalan ini mungkin bukan semata soal ruang, melainkan soal ego. Karena tidak ada yang memulai, akhirnya ruang-ruang alternatif diciptakan sebagai media untuk menyalurkan minat dan kegelisahan masing-masing individu.”
Setelahnya, digelar pemutaran film dokumenter Legiun Tulang Lunak Bandeng Juwana: 20 Centimeters per Year karya Kolektif Hysteria. Film ini merupakan bagian dari riset Hysteria yang menyoroti isu lingkungan, perubahan iklim, dan dinamika sosial akibat industrialisasi di Semarang. Lewat narasi visualnya, film ini merekam potret kota yang terus berubah sekaligus menyuarakan keterbatasan dan strategi bertahan masyarakat urban. Legiun Tulang Lunak sendiri telah diputar di lebih dari 20 titik di Indonesia dan kini menjadi bagian dari Bandeng Keliling Asia Tour. Tur ini menjadi ruang pertemuan lintas kota dan negara untuk berbagi cerita tentang ruang hidup, seni, dan ketahanan di tengah perubahan.
Sebagai penutup, suasana malam itu dibuat hangat lewat penampilan RUWS, DJ open format dengan set musik santai yang membaurkan berbagai genre. Musik yang dimainkan berhasil mengajak pengunjung bersenandung, mengangguk mengikuti irama, dan larut dalam dentuman beat yang mengalir santai. Penampilan ini sekaligus menjadi penanda bahwa ruang alternatif tak sekadar wacana, melainkan ruang untuk merayakan kebersamaan, ekspresi bebas, dan kesenangan di ruang yang diciptakan atas inisiatif (Christian Saputro/ril)




