Di tanah yang katanya subur, di bumi yang disebut “gemah ripah loh jinawi”, suara-suara sunyi para petani sering luput terdengar. Tapi dalam karya Dengung Lohjinawi” oleh Prewangan Studio, tanah tak lagi diam. Ia berdengung. Ia bernyanyi. Ia mengabarkan mimpi dan letih para penanam harapan.
***
Karya ini bukan sekadar instalasi. Ia adalah perwujudan doa dan kerja keras yang menjejak bumi. Menggunakan tanah, batu, jagung, padi, kacang, ubi, dan aneka hasil tani yang kerap dianggap remeh, karya ini dihidupkan lewat teknologi yang mengolah nilai resistansi tanah—menjadi melodi. Di sinilah tanah menjadi instrumen. Setiap denyut nadinya adalah gema dari kalsium, boron, amonium—unsur kehidupan yang selama ini bekerja diam-diam di bawah kaki kita.
Namun, Dengung Lohjinawi tidak hanya bicara soal teknologi atau seni bunyi. Ia mengangkat sesuatu yang lebih dalam: sebuah impian. Impian para petani tentang sawah yang tak kering, panen yang tak gagal, harga yang tak dihina pasar. Di tengah krisis pangan dan cuaca yang tak menentu, karya ini menjadi nyanyian dari tubuh bumi—yang lelah namun tetap memberi.
***
Dalam bait puisinya, kita temukan harapan yang bersahaja:
” Janji sregep tandang gawe… bakal ngunduh asile bumi”.
Bahwa ketekunan masih dipercaya bisa membuahkan panen. Tapi kenyataannya tak selalu setia pada harapan.
Di tengah alih fungsi lahan, distribusi pangan yang timpang, dan ketergantungan pada impor, suara petani kian tenggelam. Dengung Lohjinawi ingin menampar kesadaran kita: bahwa ketahanan pangan tak lahir dari supermarket, melainkan dari telapak tangan yang belepotan lumpur.
***
Karya ini adalah puisi tanah. Sebuah gugahan tentang keberlanjutan, kedaulatan pangan, dan keindahan kerja yang terbungkus keringat.
Dan barangkali, di antara denting piring, getar batu, dan bisik tanah, kita bisa mulai mendengar:
bahwa impian Lohjinawi tak akan pernah tumbuh…
jika petani terus dilupakan. (Christian Saputro)




