Oleh : Christian Heru Cahyo Saputro, Redaktur Budaya SKH Sumatera Post Tinggal di Semarang
Pagi itu, Taman Makam Pahlawan Nasional (TMPN) Giri Tunggal tidak seperti biasanya. Sunyi yang biasanya memayungi barisan nisan berubah menjadi riuh rendah suara anak-anak. Mereka datang dengan seragam rapi, beberapa menggenggam krayon warna-warni, sebagian lainnya menenteng kertas gambar yang masih kosong—selembar kanvas yang sebentar lagi akan menjadi jendela imajinasi mereka tentang kepahlawanan.
Embun belum sepenuhnya mengering ketika langkah-langkah kecil memenuhi pelataran makam pahlawan. Di antara monumen-monumen yang berdiri tegak, anak-anak itu duduk melingkar, memandang ke sekeliling dengan mata yang belum sepenuhnya memahami apa arti pengorbanan. Namun pagi itu, mereka sedang belajar, diam-diam menyerap makna keberanian, bukan melalui ceramah panjang, melainkan lewat warna, cerita, dan lagu.
Suara Rebana dari SDN 01 Ungaran membuka kegiatan pukul 07.30 WIB. Lantunan nada-nadanya seperti mengetuk pintu waktu, menghubungkan masa kini dengan masa-masa genting yang pernah dilalui para pejuang. Ketika lagu “Indonesia Raya” dikumandangkan, suara anak-anak yang lembut menggema ke seluruh kompleks makam, seolah memanggil kembali semangat para arwah pahlawan yang bersemayam di sana.
Acara Pengenalan Nilai-Nilai Kepahlawanan ini diselenggarakan oleh Dinas Sosial Provinsi Jawa Tengah, bertepatan dengan peringatan Hari Pahlawan ke-80. Bagi panitia, ini bukan sekadar agenda seremonial, tetapi upaya menjembatani generasi yang hidup serba digital dengan nilai-nilai perjuangan yang kian memudar di tengah hiruk pikuk dunia modern.
“Melalui pendekatan kreatif seperti mewarnai dan dongeng, kami ingin nilai kepahlawanan dikenalkan dengan cara yang membumi—tidak menggurui, tetapi mengalir,” tutur Endah Dwi Setiorini, SH., MH., Ketua Panitia sekaligus Kabid Dayasos Dinsos Jateng.
Benar saja. Dongeng inspiratif yang dibawakan Kak Eka membuat anak-anak menyimak tanpa berkedip. Cerita tentang keberanian, keteguhan, dan kesetiaan itu berpadu dengan tarian Buto-Buto Galak yang energik, membuka ruang bagi anak-anak untuk menangkap pesan tentang perjuangan melalui bahasa tubuh dan gerak lincah.
Puluhan pelajar TK dan SD yang mengikuti lomba menggambar pun larut dalam imajinasi mereka. Di atas kertas, pahlawan digambarkan bukan hanya sebagai sosok berseragam atau bertempur di medan perang. Ada yang menggambar ibu sedang menggendong anaknya, ayah yang bekerja keras, atau guru yang berdiri di depan kelas. Gambaran-gambaran itu seolah menjawab pesan yang disampaikan Kepala Dinas Sosial Jawa Tengah, Drs. Imam Maskur, M.Si.
“Pahlawan pertama bagi adik-adik adalah ibu dan bapak di rumah. Dan pahlawan di sekolah adalah guru-guru kita. Maka hormatilah mereka, jangan ada perundungan, jangan saling mengejek,” pesannya disambut anggukan polos.
Ia juga mengingatkan perihal disiplin dalam belajar, serta bijak menggunakan gawai—pesan yang mungkin baru benar-benar dipahami ketika anak-anak itu tumbuh dewasa kelak.
Di sela-sela kegiatan, Ketua Ikatan Keluarga Pahlawan Nasional Indonesia (IKPNI), Drs. Haryo Goeritno, menyampaikan refleksi tentang pentingnya menjaga ingatan kolektif. “Kita berterima kasih kepada para pahlawan setiap hari, bukan hanya pada 10 November. Melalui kegiatan seperti ini, kita memastikan generasi muda tidak kehilangan jejak sejarahnya.”
Kreativitas anak-anak pagi itu kemudian diapresiasi dengan pemberian piala dan uang pembinaan. Para pemenang, seperti Syila, Raffit, Ardian, hingga Khanza, Hanna, dan Mutiara, tampak sumringah menerima penghargaan mereka. Namun sejatinya, setiap anak yang hadir adalah pemenang: mereka pulang membawa pemahaman baru tentang arti “pahlawan”—entah sebagai figur sejarah, orang tua, guru, atau bahkan diri mereka sendiri di masa depan.
Rebana, dongeng, tawa, dan warna-warni krayon akhirnya meresap ke celah-celah sunyi TMPN Giri Tunggal. Di antara nisan-nisan yang kokoh, kegiatan sederhana itu menyulam harapan: bahwa keberanian tidak hanya lahir di medan tempur, tetapi juga tumbuh dalam hati kecil yang sedang belajar mengenali dunia.
Karena menjadi pahlawan, pada akhirnya, adalah tentang keberanian menjadi manusia yang berguna—sekecil apa pun langkahnya.
Dan pagi itu, di antara batu-batu yang menyimpan sejarah bangsa, langkah kecil itu baru saja dimulai. (*)




