Sumaterapost.co | Bandar Lampung -Jaringan Konservasi Ekosistem Lampung (JKEL) mendesak Menteri Kehutanan Republik Indonesia Audit Investigasi atas Kematian Harimau Sumatera di Lembah Hijau Lampung, dan Evaluasi Kinerja BKSDA Bengkulu-Lampung, serta Peninjauan Pengelolaan TNBBS dan Pencabutan Izin Lembah Hijau.
Desakan tersebut tertuang dalam surat permohonan JKEL Nomor : 047/JKEL/Lampung/XI/2025, yang ditujukan
Menteri Kehutanan Republik Indonesia
Cq. Direktur Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem (KSDAE)
Kementerian Kehutanan, yang beralamatkan di Jl. Ir. H. Juanda No.15, Jakarta Pusat.
Surat Permohonan yang di tanda tangani Koordinator JKEL, Ir. Almuhery Ali Paksi, menyatakan, keprihatinan serius dan tuntutan evaluasi
menyeluruh terhadap rangkaian peristiwa yang berujung pada kematian Harimau
Sumatera (Panthera tigris sumatrae) di Lembaga Konservasi Lembah Hijau, Lampung,
yang berada dalam wilayah kerja BKSDA Bengkulu–Lampung.
Kematian ini bukan sekadar kecelakaan tunggal, melainkan cerminan kegagalan sistemik
dalam tata kelola konservasi, dimulai dari lemahnya pengelolaan kawasan Taman
Nasional Bukit Barisan Selatan (TNBBS) hingga tahap penanganan satwa di luar habitat
alaminya.
Analisis Awal, Kegagalan Pengelolaan Kawasan TNBBS dan Pemicu Konflik
Satwa
Konflik antara manusia dan Harimau Sumatera yang memicu penangkapan satwa
tersebut berakar dari degradasi ekosistem dan lemahnya tata kelola kawasan TNBBS.
Sejumlah faktor berikut patut menjadi perhatian audit:
1. Tingginya tingkat perambahan, pembukaan kebun ilegal, dan perburuan satwa mangsa di dalam kawasan TNBBS yang telah mengganggu rantai makanan alami harimau.
2. Minimnya upaya restorasi dan rehabilitasi habitat pada wilayah-wilayah kritis yang selama ini menjadi koridor jelajah harimau.
3. Ketiadaan sistem deteksi dini dan mitigasi konflik satwa liar, seperti patroli terpadu, pemasangan kamera trap untuk pemantauan populasi, dan sosialisasi mitigasi konflik dengan masyarakat penyangga.
4. Koordinasi yang lemah antara Balai TNBBS, BKSDA, dan pemerintah daerah dalam menangani potensi konflik, yang menyebabkan tindakan penangkapan menjadi solusi reaktif alih-alih langkah konservasi berbasis sains.
Kondisi ini menunjukkan bahwa konflik harimau di TNBBS bukan masalah perilaku satwa,
melainkan akibat langsung dari degradasi tata kelola kawasan konservasi dan kegagalan
sistem perlindungan habitat.
Kelemahan Teknis dan Prosedural dalam Penanganan Harimau
Kelemahan berikut juga perlu diaudit dan dievaluasi secara menyeluruh:
1. Tahap pemasangan kandang jebak dilakukan tanpa kajian etologi (perilaku satwa) dan tanpa prosedur manajemen stres yang memadai, sehingga meningkatkan risiko trauma atau cidera.
2. Proses evakuasi dan transportasi diduga tidak memenuhi standar keselamatan dan kenyamanan satwa liar besar, dengan indikasi keterlambatan penanganan medis atau kurangnya pengawasan dokter hewan berkompeten.
3. Penempatan sementara harimau di fasilitas yang tidak memenuhi syarat Pusat Penyelamatan Satwa (PPS) menunjukkan ketidaksesuaian antara status satwa hasil penanganan konflik dengan standar rehabilitasi dan karantina sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri LHK No. P.106/Menlhk/Setjen/Kum.1/12/2018 dan Permen LHK No. P.22/Menlhk/Setjen/KSA.2/5/2019 tentang Lembaga Konservasi.
4. Pengawasan pasca-evakuasi yang lemah dan minimnya pelaporan terbuka terhadap kondisi kesehatan satwa hingga kematian terjadi menunjukkan pelanggaran terhadap prinsip transparansi dan akuntabilitas publik.
Ditegaskan oleh JKEL, kematian harimau tersebut bukan hanya kesalahan lembaga
konservasi, melainkan akumulasi dari kelalaian dalam rantai keputusan administratif dan
teknis yang berada di bawah koordinasi BKSDA Bengkulu–Lampung.
Permohonan Tindakan dari Kementerian Kehutanan
Berdasarkan fakta dan analisis tersebut, kami memohon agar Kementerian Kehutanan
mengambil langkah-langkah berikut:
1. Melakukan audit investigatif menyeluruh terhadap seluruh tahapan penanganan satwa liar, mulai dari penangkapan di TNBBS, evakuasi, hingga penempatan di lembaga konservasi. Audit ini harus melibatkan lembaga independen, akademisi, dan dokter hewan konservasi.
2. Melakukan audit pengelolaan kawasan TNBBS, khususnya terkait efektivitas pengawasan, penanganan perambahan, perburuan, dan kebijakan mitigasi konflik satwa liar.
3. Melakukan evaluasi dan audit kinerja BKSDA Bengkulu–Lampung, baik dari aspek tata kelola administrasi, penegakan hukum, hingga mekanisme pengawasan lembaga konservasi.
4. Melakukan audit kelayakan lembaga konservasi Lembah Hijau Lampung, mencakup infrastruktur, manajemen satwa, tenaga medis, dan pemenuhan standar kesejahteraan satwa.
5. Mencabut izin operasional Lembah Hijau sebagai lembaga konservasi, karena terbukti gagal menjamin keselamatan satwa dilindungi dan berulang kali mengalami kematian satwa prioritas nasional
6. Melakukan reformasi menyeluruh terhadap prosedur standar (SOP) penanganan konflik satwa liar, agar setiap tindakan penangkapan berbasis kajian ilmiah, dengan prinsip “minimal intervensi dan maksimal rehabilitasi”, serta memastikan penempatan satwa hanya di fasilitas yang berstatus Pusat Penyelamatan Satwa (PPS) yang terverifikasi.
Penegasan Moral dan Hukum
Kematian Harimau Sumatera di bawah pengawasan lembaga resmi negara bukan
sekadar tragedi ekologis, tetapi juga indikasi pelanggaran terhadap amanat UndangUndang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan
Ekosistemnya, serta kelalaian administratif yang dapat berimplikasi hukum.
Kami meyakini bahwa tindakan tegas, audit transparan, dan reformasi kebijakan
konservasi adalah satu-satunya jalan untuk mengembalikan kepercayaan publik,
memulihkan integritas kelembagaan Kementrian Kehutanan, dan menjamin kelangsungan
Harimau Sumatera sebagai simbol ketahanan ekosistem hutan Sumatera.
Demikian surat ini kami sampaikan dengan harapan besar agar Kementerian dapat
segera menindaklanjuti secara transparan, independen, dan berkeadilan.
Surat permohonan tersebut di tembuskan ke Ketua Komisi IV DPR RI Inspektorat Jenderal Kementrian Kehutanan Gubernur Lampung, Kepala Balai TNBBS Kepala BKSDA Bengkulu–Lampung,
Media dan Organisasi Pemerhati Lingkungan. (Ndy).


