Oleh Christian Heru Cahyo Saputro
Redaktur Budaya SKH Sumatera Post, tinggal di Tembalang, Semarang
Ketika senja menurunkan cahayanya di Kota Lama Semarang, dan bayang-bayang bangunan kolonial mulai menyatu dengan tanah, suara rebana dari kejauhan hadir seperti bisikan leluhur. Suara yang perlahan menebar kehangatan: nyanyian berbahasa Melayu, irama yang menari dari lorong-lorong sejarah, dan aroma santan dari sebuah hidangan sakral—bubur koja.
Pada Jumat sore, 12 September 2025, dalam perhelatan Fiesta Folklore Nusantara – FKL ke-14, Kampung Koja hadir bukan sekadar sebagai peserta festival, melainkan sebagai penjaga kenangan. Di atas panggung depan Gedung Marba, mereka tampil bukan untuk dipuja, tetapi untuk menyapa—membawa warisan budaya dari kampung pesisir Pekojan, Semarang, ke jantung kota yang terus bergerak.
Bubur Koja: Aroma yang Menghidupkan Ingatan
Di balik asap yang mengepul dari panci besar, tersembunyi ritual yang tak kasat mata. Bubur koja—campuran beras, santan, gula merah, dan daun pandan—lebih dari sekadar kuliner tradisional. Ia adalah penanda waktu dan perasaan. Dimasak gotong-royong oleh warga, bubur ini dibagikan kepada pengunjung dengan senyum dan doa.
Setiap sendoknya menyimpan kisah: tentang ibu-ibu yang menanak di pagi buta, tentang syukuran di pelataran rumah, dan tentang anak-anak yang menyantapnya di antara nyanyian dan tawa. Di festival, bubur ini menjadi jembatan rasa—membawa kampung hadir ke dalam lidah kota.
Nyanyian dan Rebana: Nada-Nada dari Lautan Hati
Di atas panggung, suara nyanyian mengalun, mengiringi gerak para penari muda dari Kampung Koja. Mereka mengenakan pakaian warna-warni khas pesisir, dengan kain tenun dan selempang menyilang. Tidak sekadar pertunjukan, nyanyian mereka adalah bentuk penghormatan: kepada laut, kepada orang tua, dan kepada kehidupan yang terus mengalir di tengah perubahan zaman.
Rebana ditabuh dengan penuh semangat, seolah menggugah kita semua bahwa musik bukan hanya hiburan, tetapi juga doa yang dinyanyikan bersama. Penonton pun larut. Tak ada sekat antara panggung dan penonton, karena yang hadir di sana bukan “seniman” dan “penikmat”, melainkan sesama yang sedang merayakan.
Pengantin Sunat: Ritus dan Harapan
Dan tibalah puncak penampilan: prosesi pengantin sunat. Seorang bocah lelaki, wajahnya setengah gugup setengah bangga, didandani bagai pangeran. Ia digendong berkeliling panggung dengan iringan syair-syair pujian. Tradisi ini bukan sekadar peralihan biologis, melainkan upacara masuk ke dalam dunia baru: menjadi laki-laki yang dikenang bukan hanya karena tubuhnya, tapi karena nilai yang dijunjungnya.
Di dalam tatapan bocah itu, kita melihat masa depan yang tidak lupa darimana ia berasal. Bahwa di tengah gedung-gedung tinggi dan suara klakson, masih ada anak-anak kampung yang bertumbuh dengan doa dan lagu.
Panggung yang Menjadi Jembatan
Fiesta Folklore Festival kali ini menjadi ruang penting, bukan hanya bagi Kampung Koja, tetapi bagi kota ini sendiri. Sebab apa arti kota jika ia kehilangan suara kampungnya? Apa arti kemajuan jika ia memutus akar budayanya? Kampung Koja tak datang membawa nostalgia. Mereka membawa kehidupan yang masih nyata. Sebuah kampung yang menjaga tradisi bukan karena takut masa depan, tapi justru karena mereka tahu: masa depan hanya mungkin ditapaki dengan akar yang dalam.
Dan di sinilah kita belajar—bahwa rebana, bubur, dan nyanyian itu bukan “hiburan.” Mereka adalah bahasa. Bahasa yang, jika kita mau mendengarkan, akan membawa kita pulang. Pulang ke kampung. Pulang ke kebudayaan yang tak pernah betul-betul hilang, hanya menunggu dipanggil kembali ke panggung. (*)