Oleh Christian Heru Cahyo Saputro
Redaktur Budaya SKH Sumatera Post, tinggal di Semarang
Di antara putih dinding Jogja Gallery yang tenang, ruang itu seperti menahan napas. Sunyi, tapi hidup. Di tengahnya berdiri sebuah karya yang tak ingin hanya dilihat—ia ingin didengar, disentuh, dan dirasakan. Sebuah instalasi yang tidak sekadar diam, melainkan bergerak, berdialog, dan mengundang keheningan batin untuk ikut berputar.
Itulah “Kembali Pulang”, karya pematung Iwan Hasto dalam pameran “Paraliyan”, yang digelar di Jogja Gallery, 24 Oktober hingga 2 November 2025. Pameran yang dikuratori Rain Rosidi ini mempertemukan para pematung dari berbagai kota—dari Semarang hingga Surabaya, dari Bandung hingga Denpasar—dalam satu ruang yang membicarakan peralihan, perubahan, dan perpindahan.
Kata Paraliyan sendiri, dalam bahasa Jawa, berarti peralihan. Sebuah jeda di antara dua keadaan: tidak lagi di sini, tapi belum sepenuhnya di sana. Sebuah ruang ambang yang kerap dialami manusia ketika meninggalkan sesuatu yang pernah menjadi rumah, dan mencari makna di tempat yang belum tentu dikenali.
Puisi dari Logam dan Putaran Roda
“Kembali Pulang” berdiri dengan dimensi tegas: 140 x 140 x 200 cm. Diciptakan dari plat galvanis, plat besi hitam, dinamo DC, dan gir set—bahan-bahan keras, dingin, industrial. Namun dari benda-benda itu, Iwan Hasto merajut kelembutan yang nyaris puitis. Ia menanamkan perasaan manusiawi di dalam mesin, dan menghadirkan spiritualitas dalam gerak mekanis.
Di sisi karya, sebuah perintah kecil tertulis halus: “Tekan tombol.”
Saat jari menyentuhnya, roda gigi mulai berputar. Suara halus dinamo terdengar seperti bisikan waktu. Gerak itu sederhana, tapi menyimpan simbol: hidup yang selalu berputar, nasib yang berpindah, dan manusia yang terus bergerak—menuju tempat yang entah.
Namun, seperti diungkapkan sang seniman, setiap putaran adalah pelajaran.
“Kita bisa saja kembali ke titik awal,” ujarnya, “tapi kita tak pernah menjadi orang yang sama.”
Di situ, “Kembali Pulang” menemukan maknanya. Bukan sekadar mesin yang hidup, tapi permenungan atas perjalanan batin: tentang keberanian memulai, tentang luka dan pemulihan, tentang diterima dan ditolak, tentang kehilangan dan penemuan diri.
Ruang yang Menghidupkan Renungan
Jogja Gallery, dengan dinding putih dan pencahayaan lembutnya, menjadi saksi senyap dari percakapan antara karya dan pengunjung. Setiap langkah di ruang itu seperti menapaki halaman-halaman perjalanan manusia. Tak ada suara yang lebih keras dari dengung dinamo dan bisikan pikiran sendiri.
Pameran “Paraliyan” tak hanya menampilkan wujud patung dalam bentuk fisiknya, tapi juga menghadirkan permenungan tentang tubuh, waktu, dan identitas. Karya-karya lain di ruang itu—dengan berbagai material, bentuk, dan bahasa visual—seakan membangun dialog panjang tentang pergeseran dan keterasingan dalam kehidupan modern.
Tiket masuk senilai dua puluh ribu rupiah bukanlah harga untuk menonton pameran, melainkan izin untuk masuk ke ruang kontemplasi. Setiap pengunjung membawa pulang sesuatu yang tak kasat mata: keheningan, tanya, dan mungkin, kesadaran kecil tentang dirinya sendiri.
Perjalanan yang Tak Pernah Benar-Benar Usai
Dalam “Kembali Pulang”, Iwan Hasto seolah ingin berkata bahwa rumah bukan selalu tempat di mana kita memulai, tetapi tempat di mana kita bisa memahami arti keberangkatan. Roda-roda kecil di dalam karyanya terus berputar—tak kenal lelah, tak pernah benar-benar berhenti—seperti kehidupan itu sendiri yang berjalan dalam lingkaran tak terputus.
Dan mungkin, seperti pesan yang tersirat dalam karya itu, perjalanan paling jauh bukanlah melintasi benua atau waktu, melainkan pulang—pulang kepada diri sendiri, dengan jiwa yang telah berubah, dengan mata yang kini bisa melihat lebih dalam.
Dalam sunyi Jogja Gallery, di bawah cahaya putih yang jatuh lembut pada logam yang berputar, kita diajak menyadari satu hal sederhana: bahwa seni, sebagaimana kehidupan, selalu mengajarkan cara pulang. (*)




