Semarang, SKH Sumatera Post — Rabu (29/10/2025) aula GSG Sudarto, Kampus Undip Tembalang, berubah menjadi panggung waktu yang menembus dua abad silam. Dalam temaram cahaya, denting gamelan githung Swara dan tembang Jawa mengiringi lantunan puisi “Diponegoro” karya Chairil Anwar oleh Prof. Alamsyah, M.Hum., membuka kisah perjuangan yang menggugah.
Pagelaran ketoprak “Banjaran Diponegoro”, kolaborasi Universitas Diponegoro dan Ngesti Pandowo, disutradarai oleh Sunarno, menjadi puncak Dies Natalis ke-68 Undip. Lebih dari sekadar tontonan, lakon ini menjadi ruang refleksi akan makna perjuangan, spiritualitas, dan cinta tanah air.
Sandiwara Sejarah yang Menggetarkan
Kisah Banjaran Diponegoro tidak hanya menampilkan perang, tetapi juga pergulatan batin seorang pemimpin yang berjuang di jalan iman. Prof. Dr. Suharnomo, S.E., M.Si. yang memerankan Pangeran Diponegoro, tampil penuh wibawa dan penghayatan. Ia membawa penonton menyelami keteguhan hati seorang pahlawan yang menolak tunduk pada ketidakadilan.
Ia didampingi Prof. Ir. Edy Rianto, M.Sc., Ph.D., I.P.U. (Buminoto), Prof. Mohamad Nasir, M.Si., Akt., Ph.D. (Pangeran Adinegoro), dan Prof. Dr. Endang Larasati, M.S. (Gusti KRA Ageng) dalam alur yang bergerak dari damainya Tegalrejo menuju kobaran Perang Jawa.
Nuansa spiritual menguat lewat peran Prof. Dr. Ir. Agus Indarjo (Kyai Mojo) dan Prof. Dr. ret. nat. Heru Susanto, S.T., M.T. (Sentot Prawirodirjo), dua sosok yang menjembatani doa dan perjuangan. Sementara Prof. Dr. Mohammad Djaeni, S.T., M.Eng. memerankan Jenderal De Kock dengan ketegasan khas kolonial, menggambarkan benturan dua dunia: penjajahan dan kebangsaan.
Ketika Akademisi Menjadi Seniman
Keunikan pementasan ini terletak pada keberanian para akademisi menanggalkan jas ilmuwan dan mengenakan busana kebesaran budaya. Mereka tak sekadar berakting, tetapi menjiwai peran dengan sepenuh hati.
“Pementasan ini bukan nostalgia, tetapi pengingat bahwa perjuangan adalah napas bangsa yang tak boleh padam,” ujar Rektor Undip, Prof. Suharnomo, usai pertunjukan.
Harmoni di Balik Layar
Kekuatan pementasan ini juga hadir berkat tangan dingin Laura Andri R.M., S.S., M.A. sebagai Pimpinan Produksi yang menjaga harmoni antara disiplin akademik dan dinamika seni. Budi Lee sebagai Asisten Sutradara dan Puguh, M.Hum. sebagai penata dramatik menghadirkan sentuhan teatrikal yang menyentuh tanpa kehilangan ruh ketoprak klasik. Dengan alunan musik yang ditata Gitungk Swara membangun harmoni pertunjukan mnjadi keatuan yang indah.
Deretan pemeran pendukung memperkaya cerita: Prof. Dr. Adian Fatchur Rochim, M.T. (Purboyomangkubumi), Wijayanto, S.IP., M.Si., Ph.D. (Raden Mas Mustahar), Prof. Dr. Ir. Purwanto, DEA (Raden Mas Surojo), dan Prof. Dr. Ir. Bambang Waluyo Hadi Eko Prasetyo, M.M., M.Sc., Ph.D. (Residen Smissaert).
Para perempuan bangsawan menambah pesona dengan peran penuh keanggunan: Prof. Dr. Retno Saraswati, S.H., M.Hum. (GKR Hemas), Prof. Dr. Yetty Rochwulaningsih, M.Si. (GKR Tegalrejo), Prof. Dian Ratna Sawitri, S.Psi., Ph.D. (R.A. Mangkarowati), dan Prof. Dr. Endang Susilowati, M.A. (GKR Wandhan).
Sentuhan humor dan kearifan rakyat hadir lewat Prof. Faisal, S.E., M.Si., Ph.D. (Ki Bogel), Prof. Dr. Alamsyah, M.Hum. (Ngabei Tepasana), dan Dr. Drs. Teguh Yuwono, M.Pol.Admin. (Ngabei Panambang), sementara sesi dagelan yang dibawakan Bagio “Gareng” Ngseti, Ali “Bajaj Bajuri”, dan Nining Tirang menambah warna tanpa menghapus kekhidmatan kisah.
Warisan yang Dihidupkan Kembali
Ketika tirai panggung menutup, tepuk tangan panjang menggema. Malam itu, Undip tak hanya menampilkan lakon sejarah, tetapi juga menghidupkan kembali semangat yang diwariskan Pangeran Diponegoro: keberanian, pengabdian, dan cinta tanah air.
Ketoprak Banjaran Diponegoro bukan sekadar pertunjukan seni. Ia adalah doa budaya, pengingat bahwa perjuangan tidak berhenti di medan perang—tetapi terus hidup dalam hati, ilmu, dan panggung budaya bangsa. (Christian Saputro)


 
									 
					