Semarang – Pagelaran wayang kulit Ruwatan Leluhur Lintas Iman digelar Di Gedung Boen Hian Tong (Rasa Dharma) , Jalan Gang Pinggir 31 Semarang, Minggu Kliwon (22/06/2025. Pagelaran wayang kulit dengan dalahng Ki Jose Amadeus Krisna ini mengusung lakon : Ruwatan Ceng Beng (Doa Bakti Kepada Leluhur Melalui Akulturasi Budaya).
Pagelaran kolaboratif dan inocatif ini sekaligus diajukan sebagai tesis Karya Seni Jose Amadeus di Institut Seni Indonesia (ISI) Surakarta.
Pada pagelaran yang difasilitasi Boen Hian Tonng Ki Dalang Jose Amadeus didukung tim artistik komunitas musik Tionghoa Lamkoan Boen Hian Tong (Semarang) dan niyaga dari Sanggar Wiratama Mangkunegaran (Surakarta). Selian itu, ritual dalam gelaran ini hingga uborampe sesajinya memadukan tradisi budaya Jawa dan Tionghoa.
Pagelaran dihadiri tim penguji Dr. Zulkarnain Mistortaiy, M.Hum, Dr.Eko Wahyu Prihantoro, S.Sn, M,Sn, Dr.Bagong Pujiono, S.Sn, M.Sn dan Bayu Susilo.
Dona dari Boen Hian Tong mewakili Ketua Boen Hian Tong Harjanto Halim, bangga dan mengapresiasi kiprah Jose Amadeus Krisna yang dalama karya-karyanya selalu merawat toleransi dengan mengangkat nilai-nilai keberagaman ttadisi masyarakat Indonesia khususnya Jawa dan Tionghoa.
“Kami berharap dari pementasan wayang kolabrasi ini memperkokoh persatuan dalam merawatbudaya dan kecintaan kepada NKRI,” tandas Dona.
Jose Amadeus dalam pengantarnya, mengatakan, ruwatan adalah tradisi spiritual yang telah mengakar dalam budaya Nusantara, khususnya dalam masyarakat Jawa. Ruwatan adalah sebuah upacara penyucian, pelepasan dari kesialan, sekaligus penghormatan kepada leluhur.
“Dalam tradisi Jawa, ruwatan sering digelar melalui pertunjukan wayang kulit, dengan lakon-lakon tertentu seperti “Murwakala” yang sarat simbol pembebasan dan pemulihan harmoni batin,” ujar pencipta Wayang Kronik memaparkan.
Namun, lanutnya, yang istimewa pada pagelaran wayang “Ruwatan Leluhur Lintas Iman “ ini adalah jembatan yang dibangun antara keyakinan, budaya, dan kasih sayang lintas batas.
Pagelaran ini digelar di Gedung Boen Hian Tong, Semarang, yang merupakan pusat budaya Tionghoa. Sedang pagelaran wayang ruwatan ini memadukan kearifan leluhur Jawa dan tradisi penghormatan nenek moyang ala Tionghoa—seperti pemasangan altar, papan nama leluhur, dan persembahan simbolik.
Jose menambahkan dalam tradisi Tionghoa, penghormatan kepada leluhur merupakan bagian tak terpisahkan dari kehidupan spiritual dan budaya. Terdapat beberapa ritual utama yang secara khusus ditujukan untuk mengenang, mendoakan, dan “merawat” hubungan dengan arwah leluhur. Tiga di antaranya yang paling dikenal adalah Cengbeng, Cisuak, dan King Ho Ping.
Dalam pagelaran kali ini mengusung lakon “Ruwatan Ceng Beng”. Sedangkan Cengbeng sendiri merupakan tradisi tahunan yang dilakoni orang Tionghoa.
“Cengbeng adalah wujud bakti kepada orang tua dan nenek moyang yang telah tiada. Ia menjadi momen reflektif, mengingatkan bahwa hidup saat ini adalah warisan dari generasi sebelumnya,” ujar Dalang Pencipta Gagrak Wayang Geger Pecinan.
Jose menandaskan Wayang bukan hanya sebagai tontnan, tetapi juga tuntunan spiritual yang menyatukan batin peserta dari berbagai latar kepercayaan.
“Di dalamnya, doa-doa dilantunkan, harapan dipanjatkan, dan nama-nama leluhur disebutkan dalam kesakralan yang hening dan menyentuh,” ujar Jose mengakhiri pengantarnya. (Christian Saputro)




