Oleh Christian Heru Cahyo Saputro, Jurnalis penyuka film tinggal di Semarang
Semarang — Di Aula Rumah Pohan yang resik , kursi-kursi mulai terisi saat mentari tenggelam perlahan di balik bangunan tua Kota Lama. Kamis (27/11) itu, udara Semarang membawa aroma kopi dari Teko Deko dan percakapan pelan yang saling bersahutan—suasana hangat yang menjadi pembuka bagi sebuah perjumpaan budaya. Malam tersebut bukan sekadar agenda nonton bareng; ia menjelma menjadi ruang bersama yang menyatukan film, dialog, dan komunitas.
Pemutaran Le Mépris, mahakarya Jean-Luc Godard yang meluncur pada 1963, menjadi sorotan utama. Film yang dikenal karena estetika visualnya yang memukau dan tema eksistensial yang mendalam itu ditampilkan sebagai bagian dari rangkaian Festival Sinema Prancis 2025. Bagi Sineroom Semarang, komunitas yang selama bertahun-tahun menjadi rumah bagi para penggemar dan pembuat film independen, kegiatan ini bukan sekadar menghidupkan layar—melainkan menghidupkan percakapan.
“Sinema adalah jembatan antara ide, emosi, dan identitas,” ujar Ardian Agil Waskito, Ketua Sineroom Semarang, Dengan nada yang penuh antusiasme, ia menegaskan bahwa kolaborasi dengan Alliance Française (AF) Semarang merupakan salah satu langkah penting membangun ekosistem film yang lebih inklusif dan berkelanjutan di kota ini.
“Terima kasih kepada AF Semarang. Dukungan dan kolaborasi mereka memberi ruang bagi kami untuk menghadirkan film-film yang membuka perspektif baru,” lanjutnya.
Sebagai lembaga kebudayaan yang konsisten mempromosikan bahasa dan budaya Prancis, AF Semarang melihat kerja sama ini sebagai momentum untuk memperluas akses masyarakat terhadap karya sinema dunia.
Direktur AF Semarang, Dra. Kiky Martaty, menyebut bahwa film dapat menjadi medium yang efektif untuk mempertemukan cara pandang berbeda.
“Kami ingin sinema tidak hanya menjadi hiburan, tetapi juga ruang perjumpaan budaya,” ujarnya. “Komunitas seperti Sineroom memiliki energi kreatif luar biasa. Kolaborasi ini membuktikan bagaimana potensi lokal bisa bertemu dengan jejaring global.”
Pemutaran Le Mépris berlangsung khusyuk. Cahaya proyektor menari di dinding, sementara para penonton—mahasiswa, pegiat seni, hingga warga sekitar—mengikuti alur cerita yang memotret keretakan hubungan, ambisi, dan keheningan manusia. Di akhir pemutaran, sesi diskusi berlangsung hangat. Para peserta saling bertukar pandangan tentang gaya sinema Prancis, simbolisme Godard, hingga relevansinya dengan isu-isu kontemporer.
Bagi banyak penonton, malam itu terasa seperti jendela kecil yang dibuka menuju dunia yang lebih luas. Ada yang baru pertama kali menyaksikan film Prancis, ada pula yang terbiasa mengamati sinema sebagai bahasa seni. Namun satu hal yang sama: mereka pulang dengan pikiran yang bergerak.
Lebih jauh, melalui Festival Sinema Prancis, AF Semarang dan Sineroom berharap kegiatan semacam ini terus tumbuh dan mendekatkan sinema dengan publik. Bukan hanya menghadirkan film-film berkualitas, tetapi juga mendorong budaya menonton yang kritis, kreatif, dan reflektif—khususnya bagi generasi muda Semarang yang tengah mencari ruang ekspresi.
Di tengah pesatnya dunia digital, ketika tontonan mudah diakses tetapi diskusi sering tercecer, kolaborasi semacam ini menjadi relevan. Ia mengingatkan bahwa menonton film bisa lebih dari sekadar mengisi waktu; ia bisa menjadi pengalaman yang mengasah rasa ingin tahu, mempertemukan nilai budaya, dan bahkan memantik gagasan baru.
Malam di Rumah Pohan berakhir ketika kursi-kursi mulai dilipat kembali dan lampu-lampu kecil dimatikan satu per satu. Namun percakapan yang lahir dari pemutaran itu masih menggema—menandai bahwa sinema, dalam keheningannya, tetap menjadi jembatan yang mempertemukan kita.
Dan dari Semarang, jembatan itu baru saja diperkuat. (*)




