Oleh: Christian Heru Cahyo Saputro *)
Semarang — Dalam suasana hangat yang dirajut oleh kenangan dan kata-kata, sembilan tahun usia Bengkel Sastra Taman Maluku (BeSTM) dirayakan dengan cara paling setia bagi para penyaksi makna: membedah sebuah karya sastra. Sabtu sore (12/7/2025) di Gedung Teater TBRS, novel Kolam Susu karya Sulis Bambang menjadi jantung diskusi—mengalir pelan namun menghujam, seperti air yang menyimpan sejarah luka di dalam diam.
Imaniar Christy, kritikus muda dari Dekase yang tengah bersinar, hadir membongkar lapisan demi lapisan narasi.
Bagi Imaniar, dengan pisau bedah feminisme “Kolam Susu” bukan sekadar kisah fiksi, melainkan potret batin yang dalam, tentang tubuh perempuan yang menjadi medan tafsir: dipuja, dilukai, dan—pada akhirnya—diberdayakan kembali. Ia menyebut novel ini sebagai “refleksi atas kekerasan simbolik yang kerap dianggap wajar.
Sulis Bambang, dengan bahasa yang nyaris puitik, menghadirkan tokoh-tokoh yang tidak sekadar hidup, tapi juga merintih dan merawat dirinya. Trimensa, lelaki sempurna yang digambarkan bak dewa metropolitan, menjadi poros bagi dua perempuan: Menur dan Yeyen—dua wajah istri dari kelas menengah atas, dua tubuh yang sama-sama menampung cinta, cemburu, dan kehampaan.
“Air dan susu bukan hanya lambang kesucian, tetapi juga luka yang tak bisa disembuhkan dengan doa. Ia adalah bahasa tubuh yang tak lagi bisa berkata-kata,” ujar Imaniar dalam ulasannya yang memukau. Di balik narasi tentang poligami dan relasi kuasa, Kolam Susu menyimpan kesaksian tentang perempuan yang berusaha memahami dirinya sendiri dalam tubuh yang terus diuji oleh cinta dan penyakit.
Namun tak semua sempurna. Beberapa kritik muncul—terutama soal bagaimana gejolak psikologis tokoh-tokohnya kurang tergarap dalam. “Kita tahu mereka sakit, tapi tidak cukup dekat untuk ikut merasa,” ujar salah satu peserta diskusi.
Meski demikian, Sulis Bambanh berhasil membingkai dunia perempuan kelas menengah dalam atmosfer yang hidup—dengan latar restoran, aneka hidangan, hingga kolam terapi yang menjadi metafora utama: tempat penyucian, tempat pelarian, dan kadang, tempat kehilangan.
Acara ini ditutup dengan parade pembacaan puisi dari lintas generasi dan tembang —ada Yanti S Sastroprayitno, Kwartet Coustik Yusri Yusuf, dan Arieyoko, Para penyair sepuh yang menyampaikan testimoni penguatan dan mangayubagyo seperti Gunoto Saparie dan Guspar Wong, Budi Maryono hingga suara lantang Sosiawan Leak yang mendedahkan otokritik terhadap jagad komunitas sastra fi Jawa Tengah dengan energi yang menggetarkan. Semuanya berpadu menjadi satu irama: perayaan akan kata, luka, dan keberanian perempuan yang bersuara.
Di usia ke-9, BeSTM tak sekadar menapak waktu. Ia menjadi ruang, tempat sastra tak hanya dibaca, tapi juga dihidupi—dengan tubuh, air mata, dan puisi.
“Kolam Susu” bukan sekadar novel. Ia adalah sungai batin, mengalirkan keheningan yang tak pernah tuntas dijelaskan.Dan barangkali, di sanalah sastra menemukan maknanya yang paling jujur: menyembuhkan tanpa harus menjawab segalanya.
*) Jurnalis, tukang tulis penyaksi peristiwa tinggal di Tembalang, Semarang.




