Oleh : Christian Heru Cahyo Saputro, Jurnalis penyuka seni tinggal di Semarang.
Semarang — Malam di Gedung Taman Budaya Raden Saleh (TBRS) Semarang, Sabtu (06/12/2025) bergerak pelan seperti halaman lama yang dibuka kembali. Di tengah sorot lampu yang lembut, sebuah musik kuno yang jarang terdengar hari ini mendadak memecah udara—musik Lamkwan Boen Hian Tong, warisan seni Peranakan Tionghoa yang masih hidup, meski pelan, di jantung Kota Semarang.
Dalam Pagelaran Apresiasi Warisan Budaya Tak Benda Indonesia 2025, kelompok musik ini tidak sekadar tampil. Mereka hadir sebagai penjaga memori kota—membawa nada-nada yang lahir dari perjalanan diaspora, akulturasi, dan ketahanan budaya yang diwariskan lintas generasi.

Pertunjukan dibuka dengan ritme yang pelan, seperti percakapan antara instrumen dan ruang. Suara cong hu yang dimainkan Lie Tje Wen menandai langkah pertama, lembut namun berwibawa—seakan tangan tua yang membuka pintu masa silam. Dua erhu, dimainkan oleh Louis dan Handy, masuk perlahan, menambahkan getar getir yang membuat suasana TBRS seperti terangkat ke halaman pecinan tempo dulu.
Dari sisi panggung, embusan suling yang ditiup Gunawan menyelip masuk, tipis, melayang seperti angin yang menerobos celah jendela rumah-rumah kayu lama.
Lalu hadir dentang ruan dari A Bet, bulat dan hangat, memberi fondasi ritmis yang mengalir seperti detak keluarga.
Di belakangnya, Ling Ling pada gu zheng membuat dawai-dawai bergetar seperti riak air—jernih, melingkupi seluruh ruang. Sementara itu, Hien yang memainkan yang qing memecah malam dengan getaran-getaran logam yang jernih dan renyah, mengingatkan pada hujan kecil di atap genteng kota tua.
Ada pula Boe Woen Djien yang dengan tamburnya menjaga napas pertunjukan: tidak keras, tidak terburu-buru—sebuah ketukan yang seperti menjaga detak sejarah.
Lapisan melodi itu kemudian dipeluk lembut oleh suara keyboard Ika, menghadirkan nuansa modern tanpa merusak ruh tradisi, seperti jembatan antara tempo dulu dan hari ini.
Dan ketika Venty serta Prakasita naik sebagai penyanyi, malam itu menjadi lengkap.
Suara mereka—jernih, bening, penuh rasa—menjadi tubuh dari semua melodi yang sebelumnya adalah bayangan. Mereka bernyanyi dengan keindahan yang ciamik, membuat musik Lamkwan tak lagi hanya terdengar, tetapi dirasakan.
Jejak Panjang Boen Hian Tong dalam Tubuh Kota
Boen Hian Tong telah lama menjadi bagian dari nadi budaya Semarang. Dari gang-gang kecil Pecinan, dari rumah-rumah tua dan halaman upacara keluarga, dari pesta rakyat sampai ritual leluhur—musik ini tumbuh sebagai saksi perjumpaan etnis dan zaman.
Banyak kelompok serupa telah memudar. Namun Lamkwan Boen Hian Tong memilih bertahan. Mereka membawa repertoar yang diturunkan dari generasi lebih tua, melewatinya ke generasi yang lebih muda, memastikan bahwa musik ini tidak menjadi catatan kaki sejarah, melainkan tubuh yang tetap bernapas.
Menonton mereka di TBRS adalah seperti melihat arsip hidup bergerak: bukan di dalam buku, tetapi dalam suara.
Nada sebagai Warisan, Musik sebagai Daya Ingat
Di antara ragam kesenian yang tampil malam itu, Lamkwan Boen Hian Tong menyentuh penonton dengan kehalusan. Tidak ada ledakan cahaya, tidak ada dramatika panggung. Yang ada hanyalah kesunyian yang diisi musik—dan justru dalam kesederhanaan itulah kesakralan muncul.
Nada-nada mereka seperti benang halus yang menghubungkan masa kini dengan masa lampau: mengingatkan kota ini akan identitas pelabuhannya, perdagangan, percampuran budaya, dan keresahan-keresahan kecil yang pernah hidup di gang-gang Semarang.
Dalam setiap komposisi, terasa percakapan antara dunia yang serbacepat dan tradisi yang berjalan pelan.
Panggung TBRS: Ruang Ingatan Kolektif
Saat komposisi terakhir dimainkan—dengan Venty dan Prakasita menyanyikan bagian penutup yang lembut dan menyentuh—TBRS terasa berubah menjadi ruang kontemplasi. Penonton diam: bukan karena tidak tahu harus berbuat apa, tetapi karena ingin mempertahankan rasa yang sedang tumbuh di dada.
Di panggung itu, musik Lamkwan bukan lagi sekadar penampilan. Ia kembali bernyawa sebagai Warisan Budaya Tak Benda: sesuatu yang hidup melalui manusia, yang bertahan melalui suara.
Lebih dari Pertunjukan: Sebuah Penjagaan
Lamkwan Boen Hian Tong malam itu memberi pengingat penting: warisan budaya bertahan bukan karena museum menyimpannya, tetapi karena orang-orang seperti mereka memainkan, menghidupkan, dan membaginya.
Dalam riuh perubahan budaya, mereka menunjukkan bahwa menjaga tradisi bukanlah tentang nostalgia—melainkan tentang memberi masa kini kesempatan bertemu dengan masa lalu tanpa kehilangan arah.
Tepuk tangan panjang yang menutup malam bukan hanya penghargaan atas keindahan musik itu, tetapi ucapan terima kasih karena mereka membawa sesuatu yang lebih halus:
identitas yang diselamatkan, kenangan yang dirawat, serta masa depan yang diam-diam mereka siapkan. (*)




