Semarang – Laniakea adalah kelompok musik yang lahir dari perjumpaan, tumbuh dalam proses, dan hidup dari kesatuan hati. Nama Laniakea dipinjam dari jagat raya—namun maknanya dibumikan sebagai ruang bersama bagi sekumpulan orang biasa yang memilih mengekspresikan kebersamaan lewat bunyi.
Berbasis di Semarang, Laniakea berakar dari Bongsari Music Ministry (BMM), sebuah wadah pelayanan musik gerejawi yang menempatkan musik bukan semata sebagai keterampilan teknis, melainkan sebagai sikap mendengarkan dan melayani. Dari rahim BMM inilah Laniakea bertumbuh—dengan orang-orang yang sama, semangat yang sama, dan kesadaran bahwa musik adalah bentuk perjumpaan.
Laniakea memainkan musik lintas format dan fungsi: mengiringi paduan suara, penyanyi, hingga tampil dalam konser. Instrumen yang digunakan beragam, antara lain biola, cello, piano, keyboard, flute, suling, gitar, bass, dan instrumen pendukung lainnya. Namun kekuatan utama Laniakea tidak terletak pada kemegahan bunyi, melainkan pada kejujuran proses di baliknya.
Tidak semua anggota Laniakea adalah pemusik profesional. Sebagian masih bergulat dengan notasi, tempo, dan perubahan nada dasar. Dalam situasi tertentu, diam menjadi pilihan—bukan sebagai penyangkalan, melainkan sebagai jeda untuk belajar kembali. Bagi Laniakea, kesalahan bukan aib, melainkan bagian sah dari pertumbuhan.
Nilai utama yang dipegang kelompok ini adalah kerendahan hati, keberanian untuk mengakui kekeliruan, dan kegembiraan dalam belajar. Laniakea dikenal dengan jargon internalnya: “sing penting yakin.” Sebuah keyakinan sederhana bahwa ketepatan maupun kekeliruan dapat dijalani dengan sikap yang sama: jujur, bertanggung jawab, dan penuh sukacita.
Perjalanan Laniakea ditandai oleh proses yang bertahap dan konsisten. Bermula sebagai pengiring koor di Gereja Bongsari, berkembang melayani di berbagai gereja, mengiringi penyanyi dalam konser penggalangan dana, hingga tampil di panggung besar luar ruang pada 17 Agustus 2024 dalam peresmian Grha Argya, gedung pelayanan pastoral Paroki Bongsari Semarang. Pentas tersebut menjadi tonggak penting menuju kemandirian artistik.
Puncak peneguhan identitas terjadi pada Konser Echoes of Life: Holiday Edition, Minggu, 14 Desember 2025, ketika nama Laniakea secara resmi ditabalkan kepada publik. Momentum ini bukan sekadar peluncuran nama, melainkan pernyataan niat dan arah: bahwa Laniakea memilih terus bertumbuh melalui karya, bukan melalui klaim kesempurnaan.
Secara filosofis, Laniakea memandang musik sebagai getaran energi kehidupan—sebuah kesadaran bahwa bunyi, nada, dan irama adalah cara manusia menata pengalaman hidup: suka dan duka, ragu dan yakin, nada rendah dan nada tinggi. Musik, bagi Laniakea, adalah cara berdamai dengan seluruh rentang kehidupan.
Dalam struktur internal, Laniakea tidak menganut kepemimpinan tunggal. Setiap keputusan dirumuskan melalui musyawarah, dengan ruang terbuka bagi semua anggota untuk mengusulkan, mendiskusikan, dan bertanggung jawab bersama. Laniakea adalah orkestrasi kolektif—tanpa dirigen kaku, namun dengan kepekaan untuk saling mendengar.
Laniakea tidak menjanjikan musik yang selalu sempurna.
Yang dijanjikan adalah kejujuran dalam setiap bunyi.
“Karena bagi Laniakea,
sing penting yakin,” ujar Ovan optimistis sebelum tampil mengawali konser Echoes of Life “Holiday Edition ‘ (Christian Saputro).




