Oleh Christian Heru Cahyo Saputro, Jurnalis penyuka seni tinggal di Semarang.
Di tepian laut utara Jawa, ada sebuah dusun yang sejak lama bersahabat dengan genangan air. Timbulsloko namanya. Desa kecil di Kecamatan Sayung, Demak, ini bukan lagi tanah yang utuh—ia sudah puluhan tahun pelan-pelan ditelan rob, hingga rumah-rumah panggung menjadi satu-satunya cara warga bertahan. Dari jauh, ia tampak seperti desa apung, seolah perahu-perahu kayu yang berbaris di tengah laut tenang. Namun di balik riak air asin itu, ada denyut kehidupan yang keras kepala menolak padam.
Pada Minggu sore, 31 Agustus 2025, di tengah desa yang setengah tenggelam itu, cahaya lain menyala: pagelaran seni “Lentera Cerita”. Sebuah pertemuan antara warga dan seniman, antara suara hati dan panggung, antara luka yang lama dipendam dan keindahan yang ingin dibagikan.
Seni Sebagai Bahasa Silaturahmi
Di panggung sederhana yang berdiri di atas tanah becek bekas genangan, musik menggema, puisi dibacakan, dan tawa anak-anak merekah. Ketua panitia, Beno Siang Pamungkas, berdiri di hadapan warga dan seniman dengan suara bergetar.
“Kalau orang lain datang membawa bantuan berupa barang, kami datang dengan rasa—membagi apa yang Allah anugerahkan, yaitu talenta seni. Semoga ini bisa menjadi jembatan silaturahmi sekaligus mengabarkan pada dunia luar bahwa ada kampung yang tenggelam, tapi warganya masih bertahan.”
Beno bukan sekadar panitia, ia penyair yang membiarkan kata-katanya menetes seperti air, meresapi tanah yang sudah lama kehilangan pijakan.
Panggung di Tengah Rob
Seniman-seniman dari berbagai komunitas hadir: Santri Bajingan, LazisMU Jawa Tengah, LTM PWNU Jawa Tengah, PC ISNU Demak, Suluh Ar-Rosyid, hingga Pesantren Sastra. Mereka datang membawa harmoni, membawa lukisan, membawa cerita.
Syarief Rahmadi, Slamet Unggul, Ali Ahmadi, Agung Wibowo, Chotrex Creatio, Maulid Ndalu dan tentu Beno sendiri menyalakan puisi-puisi. Kaukab, dan Mere Naufal mengisi udara dengan alunan musik. Lalu Roely Slamet (Kak Slem) hadir dengan monolog-dongeng yang membuat hadirin tertawa dan merenung di waktu bersamaan. Sementara itu, pelukis Soleh Ibnu mengabadikan lanskap Timbulsloko ke atas kanvas, dan kamera para fotografer serta videografer merekam setiap detik, agar dunia tahu ada kehidupan yang masih bertahan di sini.
“Terima kasih karena para seniman telah datang membawa hiburan dan semangat bagi warga,” ujar Shobirin, tokoh masyarakat desa, sambil menatap panggung dengan mata berkaca.
Hidup di Antara Air
Timbulsloko kini dihuni sekitar seratus kepala keluarga. Dulu, tanah ini dikenal subur: padi, jagung, tambak ikan, bahkan ternak pernah jadi sumber kemakmuran. Namun kini, air asin menutup semua. Akses darat terputus. Perahu menjadi satu-satunya jalan menuju desa.
Warga hidup mirip Suku Bajo, dengan rumah-rumah yang ditinggikan ala kadarnya. Mereka menolak menyerah. Bukan karena tidak tahu beratnya keadaan, tetapi karena akar kehidupan mereka sudah menancap di sini, lebih dalam dari sekadar tanah yang hilang.
Direktur LazisMU Jawa Tengah, Ikhwanu Shoffa, berkata lirih namun tegas, “Budaya adalah keindahan manusia. Ketika kemanusiaan tercabik, budaya akan bersuara.” Dan benar, sore itu budaya menjadi suara.
Lentera yang Tak Pernah Padam
“Lentera Cerita” bukan sekadar acara hiburan. Ia adalah dokumentasi penting, seperti ditekankan Lukni Maulana, koordinator lapangan. “Kita sedang menjembatani kisah warga dengan publik yang lebih luas,” ujarnya.
Selain pentas seni, kegiatan melukis, fotografi, dan video pendek dilakukan. Semua untuk mengabarkan, bahwa di Demak ada sebuah dusun yang perlahan hilang ditelan air, tetapi warganya teguh menyalakan harapan.
Seperti lentera yang tetap menyala di tengah malam pekat, seni menjadi cahaya kecil yang menolak padam. Di Timbulsloko, cahaya itu bukan hanya milik seniman, tapi juga milik warga—yang setiap hari membuktikan bahwa kesabaran, keikhlasan, dan ketegaran bukanlah kata-kata indah, melainkan laku hidup.
Dari desa yang tenggelam ini, suara seni bergema, membelah sunyi laut, mengetuk hati dunia: bahwa bahkan ketika tanah hilang, manusia bisa tetap berdiri—dengan nyala budaya sebagai lentera. (*)




