Oleh Christian Heru Cahyo Saputro, Jurnalis penyuka film tinggal di Tembalanh Semarang
Dua puluh tahun adalah sebuah lingkaran waktu yang tak singkat, apalagi bila dijalani dalam dunia seni peran—sebuah dunia yang, bagi Reza Rahardian, lebih mirip lorong penuh paradoks ketimbang jalan lurus yang terang benderang. Ia pernah berkata, “Apa itu akting? Satu pertanyaan yang tak pernah saya jawab.” Dan justru dari ketidakpastian itu, lahirlah keyakinan bahwa akting adalah seni menjadi orang lain, bahkan hingga meninggalkan dirinya sendiri.
Sejak awal kemunculannya, Reza telah membuktikan bahwa ia bukan sekadar aktor. Ia adalah pengembara identitas. Dalam dirinya pernah hidup Beni yang penuh keresahan, Samsuddin Zein dengan keluguannya, Rosid si pemberontak muda, Habibie yang jenius dan rapuh, Tjokroaminoto yang berapi-api, hingga Bossman yang eksentrik. Setiap karakter adalah lorong baru, setiap skenario adalah pintu yang membawanya jauh dari dirinya sendiri. Namun, di sanalah justru Reza menemukan dirinya—melalui orang lain.
Dua dekade perjalanan ini ibarat sebuah ritual kesenyapan. Saat lampu kamera padam dan sorak penonton mereda, yang tersisa hanyalah kesepian seorang aktor yang kehilangan dirinya di antara begitu banyak nama dan wajah. Ada pertarungan batin yang tak pernah selesai: antara seni dan bisnis, antara keramaian gosip dan kesunyian pribadi, antara idealisme dan kenyataan layar lebar. Reza berjalan di dalam kontradiksi itu, namun justru dari sanalah lahir ketahanan dan kedalaman aktingnya.
Refleksi panjang ini kini menjelma dalam Eudaimonia, sebuah instalasi seni yang dipamerkan di ArtJog 2025. Proyek kolaboratif ini merangkum bukan hanya perjalanan Reza sebagai aktor, tetapi juga pergulatannya sebagai manusia. Bersama Garin Nugroho sebagai sutradara, Andra Matin sebagai arsitek, serta arahan artistik Arya Ibrahim Inet Leimena, Eudaimonia menjadi ruang kontemplasi: tentang seni, hidup, paradoks, dan pencarian makna.
Di dalamnya, Reza hadir bukan sekadar sebagai sosok yang menampilkan lakon, melainkan sebagai manusia yang menelanjangi dirinya di hadapan publik. Ia menghadirkan fragmen-fragmen perjalanan aktingnya, tetapi juga membiarkan penonton melihat sisi sepi, sisi rapuh, sisi yang selama ini tertutup oleh sorotan kamera.
Dua puluh tahun berkarya, bagi Reza, bukan sekadar catatan prestasi atau deretan penghargaan. Ia adalah pergulatan yang tak kunjung usai: bagaimana tetap utuh sebagai manusia, ketika terus-menerus diminta untuk menjadi orang lain. Dan mungkin, di situlah arti sebenarnya dari eudaimonia—kebahagiaan yang lahir dari perjalanan panjang, dari paradoks yang diterima, dari kesunyian yang didamaikan.
Reza Rahardian, dengan seluruh perannya, seolah ingin berkata: kehidupan seorang aktor adalah seni kehilangan dan menemukan diri, berkali-kali, tanpa pernah selesai. – Penata Rias: Handradjasa Sri Puadi
Eudaimonia sendiri merupakan konsep dalam filsafat Yunani kuno yang berfokus pada pemenuhan diri melalui tujuan yang bermakna. Dalam konteks karya ini, Reza Rahardian menggunakan konsep tersebut untuk merepresentasikan perjalanan panjangnya sebagai aktor dan seniman. Instalasi ini dapat dikunjungi di Jogja National Museum (JNM) selama Artjog 2025.¹
Eudaimonia: Sebuah Ruang Sunyi di Tengah Gema
Apa yang tersisa dari dua puluh tahun perjalanan seorang aktor? Bukan hanya deretan peran yang lahir silih berganti, bukan pula tepuk tangan yang meledak setiap layar ditutup. Yang tertinggal justru adalah pertanyaan: siapakah aku setelah sekian lama hidup dalam tubuh orang lain? Dari pertanyaan itulah Eudaimonia berangkat—sebuah instalasi seni yang lahir dari pertemuan batin Reza Rahardian dengan dunia yang telah membentuk dan sekaligus mengasingkannya.
Dipamerkan di Jogja National Museum dalam rangkaian Artjog 2025, karya ini adalah panggung yang berbeda dari layar bioskop. Bukan lagi sekadar ruang tontonan, melainkan sebuah ruang kontemplasi. Di sini, Reza tidak berdiri sendiri. Ia hadir dalam orkestrasi kolaborasi lintas disiplin: Arya Ibrahim Inet Leimena sebagai penanggung jawab, Garin Nugroho yang menyulam arah cerita, Andra Matin yang menata arsitektur ruang, Kasimyn (Aditya Surya Taruna) yang memberi nafas bunyi, Siko Setyanto mengatur gerak tubuh, Retno Ratih Damayanti menyiapkan busana sebagai lapisan makna, dan Handradjasa Sri Puadi merangkai wajah yang berbicara lebih dari kata-kata.
“Eudaimonia” dalam filsafat Yunani kuno adalah puncak kebahagiaan, pemenuhan diri, dan kehidupan yang bermakna. Namun, dalam tafsir Reza, konsep itu menjadi perjalanan paradoks: bagaimana seorang aktor yang selalu menjadi orang lain justru mencari kebahagiaan dengan menemukan kembali dirinya sendiri. Instalasi ini mengajak pengunjung menelusuri lorong perasaan seorang aktor—antara keramaian panggung dan kesepian kamar, antara sorak penonton dan sunyi yang mendesak di dada.
Ruang demi ruang di dalam instalasi ini dihidupi oleh simbol dan fragmen. Ada suara yang menggema, seakan berasal dari dalam kepala. Ada tubuh yang bergerak dalam keheningan, menandai pencarian tanpa henti. Ada bayangan wajah-wajah yang pernah Reza kenakan, menyiratkan pertanyaan yang sama: “Di mana aku berada ketika menjadi mereka?”
Lebih dari sebuah pertunjukan, Eudaimonia adalah undangan untuk merenung. Ia membuka kemungkinan bahwa seni tidak sekadar hiburan, melainkan cermin yang memperlihatkan pergulatan terdalam manusia. Melalui karya ini, Reza Rahardian seakan menuturkan: kebahagiaan sejati bukanlah sekadar sorak sorai, melainkan keberanian untuk menghadapi sunyi—dan berdamai dengannya. (*)




