Di tengah denyut Semarang yang tak pernah betul-betul hening, terdapat sebuah ruang sederhana yang berbeda dari sekolah formal pada umumnya. Ia tidak menjanjikan kecepatan menguasai hitung-hitungan, tidak pula mengejar daftar panjang prestasi akademik. Rumah itu bernama EduHouse, dan di dalamnya, anak-anak diajak menemukan keajaiban belajar sebagaimana burung kecil menemukan langitnya.
Sosok di balik rumah belajar ini adalah Linggayani Soentoro—seorang perempuan yang menolak melihat pendidikan hanya sebatas sistem, aturan, dan nilai ujian. Baginya, setiap anak adalah kisah unik yang layak dituliskan dengan tinta kasih, bukan sekadar angka pada rapor. Dari kegelisahan itulah, EduHouse tumbuh. Bukan sekadar tempat belajar, melainkan sebuah “rumah” tempat anak-anak merasakan bahwa belajar bisa sehangat pelukan, seindah dongeng, dan seluas imajinasi mereka.
Linggayani percaya bahwa pendidikan sejati tidak bisa hanya menyentuh kepala, tetapi juga harus menggerakkan hati dan tubuh. Maka, di EduHouse, anak-anak diajak merasakan belajar sebagai petualangan. Mereka membaca sambil berdialog, menggambar sambil berefleksi, menanam sambil bertanya tentang bumi. Kurikulum yang ia rancang bukan kurikulum yang kaku, melainkan kurikulum yang “bernapas”—memberi ruang bagi anak-anak untuk bertumbuh sesuai irama masing-masing.
“Setiap anak punya cahayanya sendiri. Tugas kita bukan memadamkan, tapi membantu mereka bersinar,” ucapnya suatu pagi, sambil menatap halaman EduHouse yang penuh coretan krayon dan tawa anak-anak.
Dalam perjalanan intelektualnya, Linggayani banyak terinspirasi oleh filosofi Charlotte Mason, yang melihat pendidikan sebagai atmosfer, disiplin, dan hidup. Maka, di EduHouse, yang dibangun bukan hanya keterampilan akademis, melainkan juga karakter, rasa empati, dan hubungan sehat antara anak, orang tua, serta guru. Belajar di sana adalah belajar yang dialami, bukan sekadar dihafalkan.
Namun jejak kiprah Linggayani tidak berhenti di ruang belajar itu saja. Ia turut aktif dalam berbagai kegiatan komunitas, termasuk melalui Rotary Club of Semarang Bimasena, di mana ia menjembatani gagasan pendidikan dengan kepedulian sosial. Ia terlibat dalam gerakan lingkungan, menanamkan pada anak-anak bahwa mencintai bumi adalah bagian dari mencintai diri sendiri. Baginya, pendidikan dan keberlanjutan adalah satu tarikan napas—keduanya sama-sama berbicara tentang masa depan.
Menurt Linggayani pendidikan bermutu untuk semua dalama mengahadapi tantangan ke depan kita harus aware dengan Artificial Intelegence (AI), bukan sebagai hal yang ditakuti tapi dipahami. Jika sekarang AI sdh mampu menjawab pertanyaan-pertanyaan kita, jadi konsep sekolah denga soal-soal tes hafalan menurut saya tidak lagi relevan dgn kebutuhan masa depan
“Jadi justru humanisme perlu lebih disentuh, seni budaya perlu diperluas dan diakses supaya ‘rasa’ juga bisa tetapi jadi elemen manusia yang bisa menghubungkan satu dengan yang lain,” jelas Linggayani..
Di tengah dunia yang sibuk mengejar hasil instan, Linggayani memilih jalan yang sebaliknya: jalan yang sabar, lembut, namun mengakar. Ia ibarat seorang penanam yang menaruh benih pengetahuan di tanah hati anak-anak, lalu menyiraminya dengan cinta, dan membiarkan cahaya alamiah setiap anak menumbuhkannya perlahan. EduHouse erupakan taman mini kehidupan nyata , komunitas orangtua aktif saling mendukung dan sadar bahwa raising children , raising ourselves (diri orangtua) juga.
Karena baginya, peremuan yang lebih sukan dipanggil Lingga ini, pendidikan adalah perkara hati. Dan dari hati yang tuluslah, cahaya masa depan disemai—satu anak, satu cerita, satu langkah menuju dunia yang lebih manusiawi. (Christian Saputro)